Curug Nangga, Desa Petahunan, Kecamatan Pekuncen, Banyumas Part 2

Pemandangan terasering dari atas puncak Curug Nangga, tak kalah seperti di Pulau Bali
Desa Petahunan, Siap Merintis Desa Wisata

    Menginjak keindahan bumi, dan membuatnya menjadi tempat yang lebih banyak dikenal masyarakat memberi efek rasa bersalah. Rasa bersalah itu adalah membuat masyarakat di lokasi tersebut gerah dengan kedatangan orang asing. Setidaknya, itulah yang dirasakan (aku, mas arif, mas untung, mas uje) usai berkunjung ke Curug Nangga 7 Februari 2015 silam.

Pemandangan Curug Nangga dari Ground Zero



Namun, rasa bersalah itu sedikit terbayarkan saat kembali ke Curug Nangga, Desa Petahunan, Kecamatan Pekuncen Minggu, 28 Februari 2015. Kali ini, di edisi kedua menuju Curug Nangga, memang banyak membawa orang. Total ada lima mobil. Satu mobil teman saya (rombongannya mas Khamdani), satu lagi rombongan teman saya (mahasiswa Unsoed; mas Rio dkk), dan tiga lagi rombongan orang Hash Purwokerto yang suka berburu Curug (sebenarnya berangkat terpisah si; dan salah satu isinya adalah Kaprodi saya waktu kuliah, Pak Rosyid).
    Sepekan sebelum berangkat itu, aku dan kawan-kawan mencoba berpikir agar kedatangan kedua jangan sekedar menikmati alamnya saja. Namun, berinteraksi dengan penduduk lokal desa Petahunan. Kebetulan, saat kedatangan pertama itu, kami sudah menyimpan kontak Mas Sukmono, Kaur di Desa Petahunan. Sehingga, sepekan sebelum berangkat, aku dan kawan-kawan selalu berkordinasi dengan mas Sukmono.
    Pun demikian, saat tiba di Desa Petahunan yang berada di Lereng Melintang Gunung Slamet Wilayah Barat. Mas Sukmono langsung memberi kode untuk parkir di halaman rumahnya yang memang searah menuju Curug Nangga saat melintas di Balai Desa Petahunan, desa kedua setelah masuk dari arah Jalan Raya Ajibarang-Bumiayu (pertigaan Cikawung).
    Aku dan kawan-kawan langsung bergegas usai parkir dengan rapi menuju Curug Nangga. Memijak rumput halaman teras rumah Sukmono, menyibak dedaun dengan sikut hingga air embun menetes, sampai menurun tebing kecil yang berada di atas jalanan yang memang masih sempit.
    Rumah terakhir menuju Curug Nangga telah terlewati. Siap-siap jalan menurun total. Pikiranku, jalan masih semak belukar dan setapak seperti 7 Februari silam. Tapi, pikiran itu sirna. Jalan telah diperbaiki. Beberapa bukan setapak. Tapi, sudah lebar dua meter. Tak merubah aslinya juga. Masih alami. Hanya diperlebar.
    Tapian sisi kanan dan kiri juga dirapikan. Pohon besar tak ditebang. Hanya semak yang mengganggu yang dikepras sedikit agar orang yang datang lebih nyaman (orang ini mulai saya sebut wisatawan)
    "Warga ikhlas memberikan jalan pinggiran setapak untuk akses jalan menuju Curug Nangga. Desa sudah siap menjadi rintisan desa wisata," kata Sukmono saat turun menapaki jalanan tanah gembur bersama Pak Kades Petahunan.
    Oh iya, sebelum sampai lokasi, untuk menuju Curug Nangga, tidak ada plang sama sekali. Namun, saat kedua kalinya ini, plang dan beberapa penanda jalan sudah ada.
    "Ini dari desa yang bikin plang dan membuat akses. Sudah ada rencana membuat lokasi parkir. Kasihan banyak sekali yang tersesat saat ke sini," katanya.
    Obrolan terus berlanjut hingga aku dan kawan-kawan sampai lagi di ground zero Curug Nangga.
    Wuihh, Curugnya masih bertingkat tujuh.
    Tak kurang satu, atau lebih satu selama tiga minggu kemarin. Hehe. Airnya setia mengalir. Cadasnya masih keras. Tidak mau melunak. Pohon bambu yang berderet sisi kanan kiri sungai masih hijau menemani riaknya air Curug Nangga.   
 Parahnya, bebatuan juga terus menunggu amukan air terjun yang turun tanpa henti. Tak tanggung-tanggung, derita batu itu ada di masing-masing tingkat. Nada protes batu akibat amukan air itu paling hanya bergeser dari satu lokasi ke lokasi lain agar tidak terlalu keras.
    Ekh, di Ground Zero ini, ada aliran air kecil sisi kanan Curug Nangga dimana air mengalir dari atas cadas. Terpisah dengan sumber air Curug Nangga. Asyik juga meluncur di sini. Setelah di Ground Zero, sedikit mengobrol dengan mas Sukmono. Kedepan, rencananya akan ada plang lokasi dan cerita Curug Nangga, plang peringatan (dilarang buang sampah dimana bisa kena denda karena berdasar Perda), juga plang keselamatan. Semua akan dibuat alami dan nyeni.
    Di sini, aku mulai mengenalkan rombongan. Pertama, Isro Adi Harso, dan dua temannya; orang Canyonying Indonesia; mas Fahmi dan (haduh, satu lagi malah aku lupa namanya). Tiga orang ini sengaja diajak untuk memetakan potensi wisata Curug Nangga Desa Petahunan, Kecamatan Pekuncen, yang kadung dikenal masyarakat.
    Semua langsung menuju ke curug ke enam kalau dari bawah (atau curug kedua dari atas). Tali dilempar, alat dipasang, semua sudah lengkap. Safety. Resiko bahaya sudah dibuat seminim mungkin. Itulah yang seharusnya dilakukan.
    Tebing pun panjangnya sudah ketahuan. 25 meter sesuai panjang tali. Satu persatu turun. Mencoba rapelling. Aman. Pemetaan selesai. Pak Kaur Sukmono juga mencobanya dengan dipotret oleh Pak Kadesnya.
    Singkat cerita, (sedikit ada keyakinan, nanti mas isro juga akan menulis pemanjatan ini. tapi, kalau sempat dianya, hehe) sudah pukul 14.00. Setelah menenggak kelapa muda dari seorang petani, alat langsung dilepas. Kami kembali ke rumah Pak Sukmono.
Hebat. Semua rombongan sudah mandi di saat sebagian mencoba rapelling. Ada yang di curug ke satu, dua, tiga, empat, lima, enam, atau ke tujuh. Semua sudah asyik sendiri. Malahan, Isro dan dua temannya itu melompat dari Curug ke lima ke empat, kempat ke ketiga, dan selanjutnya. (Lha cerita sharenya dengan pak kaur dan kadesnya in the next slide)


Komentar