Kuliner Nusantara Curug Talang, Baturraden

namanya novi arifin. sukanya menyendiri di atas curug talang
asyiknya itu ya ceburan (yang punya blog narsis)
Ayam Goreng Burus Khas Kedung Nila

    Lama-lama, bosan juga menulis curug atau istilah keren dalam bahasa Indonesia-nya adalah air terjun. Tapi tidak boleh. Aku harus terus menulis tentang curug atau istilah lain yang sering disebut orang Inggris lagi keren adalah; waterfall. Memang si, dalam setiap perjalanan menuju curug, aku dan kawan-kawan selalu menemukan sesuatu yang baru (mirip moto koran induk saya, jawapos.com/selalu ada yang baru).

    Kalau melulu menulis edisi perjalanan, pasti ketemu kata 'lagi ngos-ngosan, ngempos, luar biasa, keindahan, pepohonan, dan lainnya'. 
Tapi, memang itu juga yang kurasakan saat menuju Curug Talang, Baturraden, 7 Maret 2015 lalu. Curug yang telah kusinggahi untuk kedua kalinya dalam rentang satu minggu. Kedatangan pertama dengan kawan dari Purbalingga, selanjutnya dengan kawan-kawan dari Radar Banyumas, tempat saya beribadah mencari nafkah. Oh ya, ada satu lagi, kawan yaitu mantan wartawan Radar Banyumas. Namanya Hamdani. #aja ngasi ra kesebut kie jenenge.        
        Sperti biasa, tulisan penggambaran lokasi bakal kayak gini;
        Airnya jernih, membiru ke dasarnya. Bebatuan keras yang menghitam bersemu lumut terlihat berbinar. Sama binarnya dengan lamuk di angkasa yang ikut-ikutan berkaca pada air di Curug Talang. Hijaunya pepohonan di pinggir Curug Talang dipadu dengan setianya gemerujug air kompak saling memanjakan mata. Ikan-ikan sebagai penghias kolam alami Sungai Pelus ini menjadi pemandangan alami ekosistem. Ikan yang selalu saja tak kedinginan, meski terus-terusan berada di dalam air. (Beda dengan aku dan kawan-kawan yang selalu kedinginan setelah satu jam lamanya berendam pada keindahan aliran sungai pelus ini). 
aslinya aliran air kecil
   Sudah-sudah. Selesai.
        Kali ini, asyiknya perjalanan justru saat badan lelah setelah sampai rumah. Begitu pulang, aku langsung membuka gulungan batang burus yang kubawa dari sekitar Curug Talang. Oh ya, burus ini aku minta dari seorang petani.
    Waktu itu ada penduduk lokal sedang panen palawija. Sontak, aku memintanya. Bicara mengenai burus, aku hanya ingat kalau pohon burus ini adalah pohon yang selalu kucari saat masih kecil. Melalui olahan nenekku, burus akhirnya jadi makanan favoritku. Satu lagi! burus hanya bisa kudapat di rumah nenek! (akh, nggak bagus juga saat ditulis nenekku ditulis nenek. Baiknya kupanggil Nini saja. Coz, aku memanggilnya nini kepada nenekku).




pohon burus alias kecombrang
bunga kecombrang sedang dipegang uje hartono
Sedikit penjelasan, burus adalah tanaman palawija. Orang menyebut kecombrang. Tapi, aku lebih familer dengan menyebut burus (tanpa pak rus). #hehe. 
Biasanya, masyarakat meminati kembang kecombrang sebagai bagian dari uraban/kluban/pecel/lalapan/ dan lainnya. Namun, kali ini, aku lebih mengupas soal batang kecombrang yang ternyata enak luar biasa saat diolah dengan ayam.
    Yap, saat sampai di rumah pukul 13.30 WIB badan sebenarnya capai. Tapi, saat beres-beres, burus yang diambilkan petani dari atas Curug Talang, tepatnya di area Kedungwuni, mampu membuat aku untuk membayangkan betapa makanan khas olahan niniku lezat tiada tara.
    Lalu, aku ambil beberapa batang burus. Kubawa ke dapur. Ambil pisau, kupotong kecil-kecil. Sekitar 3 cm. Kemudian kuambil ciri dan mutu (semoga masih ingat nama perkakas ini ya). Kugebuk-gebuk potongan itu. Maksudnya; digerus. (Halah.. bahasa Indonesianya adalah ditumbuk). Harus benar-benar sampai halus-lus-lus. (jangan seperti foto dibawah ini karena masih terlihat kasar). 
    Usai memotong burus dan menumbuknya. Aku sms istriku.
    "Bu, beliin ayam potong, ukuran paling kecil saja,"
ayam yang sudah diurab dengan burus
Tapi, sms-ku tak berbalas. Ya sudah. Karena penasaran dengan citarasa burus itu, aku beli sendiri. Kubeli ayam potong. Batinku, paling mahal 20 ribu. Beli sekilo saja. Namun, warung sudah tak menyediakan. Terpaksa aku ke ayam potong cabut bulu. Kubeli paling kecil. Harganya waktu itu per kilo 16.500. Kalau dua kilo ya paling Rp 33 ribu. Ok, ndak papa. Sekeluarga bisa makan!. ketimbang si buat beli rokok! (sebenarnya, aku masih punya rokok, jadi ndak eman-eman beli ayam. Kalau rokok habis, biasanya eman-eman).   
siap digoreng
Selesai. Ayam sudah dipotong. Maka tinggal kumasak.
    Pertama ayam aku cuci. Kubuat bumbunya. Gampang kok buat bumbunya. Tinggal digerus aja bawang, brambang, kunir, jahe, ketumbar, dicampur dengan garam dan sedikit gula. Lalu sedikit saja vetsin (ini si bumbu saya, kalau bumbu kamu apa?). Bumbu buat dua porsi. Separo untuk ayam dan langsung digodok. Orang Jawa bilang disekel. Separonya lagi diurab ke potongan burus itu.
    Usai disekel, tunggulah dingin. Kalau sudah dingin, urablah dengan burus. Kemudian goreng bersama. Sampai kira-kira semu kuning kemerahan, segera diangkat dan tiriskan. Adik saya yang namanya Komeng saja sampai bilang; "Mambu masakane kayak nang restoran,"  Padahal, adikku itu teriak-teriak saat duduk di ruang tamu.

cita rasa khas ayam goreng burus khas kedung nila
  Yup, itulah resep Ayam Goreng Burus Khas Kedung Nila, Baturraden. Suatu saat, pasti ini harus direalisasikan masyarakat setempat. Kalau tetep nggak ada. Ya, aku saja yang nantinya bakal berbisnis ini.

kedung nila dengan pendatang baru bernama sudjarwo
kiri ke kanan : uje, wahyu, hamdani, sudjarwo

oh ya, ini ada video kami ciblonan.. cekidot ya
   
   

Komentar