Unggahan Bonokeling, Banyumas

"Termasuk anda teman-teman wartawan. Semua harus pakai ikat kepala dan sarung. Bila tidak maka akan diusir oleh kami Beginilah kami menjaga tradisi ini agar terus lestari," ungkap Juru Bicara Kerabat Kyai Bonokeling, Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah Sumitro.  Siapapun yang masuk ke Makam Bonokeling harus memakai jarit dan ikat kepala bagi laki-laki. Bagi perempuan juga pakai jarit




Para wanita keturunan dan kerabat Kyai Bonokeling menunggu upacara Sadranan/Unggah-Unggahan

Meritualkan diri di depan Makam Kyai Bonokeling












Ribuan Orang Nyadran di Makam Bonokeling



JATILAWANG-Ribuan orang yang berasal dari berbagai wilayah di Kabupaten Banyumas, dan Cilacap yang merupakan pengikut Islam Kejawen Kyai Bonokeling tumplek ruah di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Jumat (22/7). Para pengikut yang terdiri dari usia muda, tua, -ibu-ibu- bapak-bapak, hingga para gadis, dan remaja ini datang untuk melakukan ritual unggah-unggahan ke Makam Kyai Bonokeling atau biasa disebut Sadranan.
Mereka yang datang ada yang menggunakan angkutan, mobil maupun kendaraan. Namun, ada juga ratusan rombongan yang sengaja datang dengan napak tilas atau berjalan kaki dari rumahnya di kabupaten Cilacap hingga ke Makam Bonokeling di Pekuncen Jatilawang. Seperti yang dilakukan para pengikut Bonokeling di  Dusun Daunlumbung Kabupaten Cilacap, Dusun Jipara Wetan, Kecamatan Binangun,  Cilacap dan  pengikut-pengikuti dari daerah lain yang jaraknya sampai dengan 60 KM. Mereka yang datang juga membawa berbagai makanan yang disiapkan untuk acara Sadaranan.
Disamping itu, mereka yang datang dalam ritual unggah-unggahan wajib memakai pakaian adat Jawa. Bagi laki-laki, wajib hukum adatnya untuk menggunakan blangkon/iket kepala, dengan bawahan sarungan. Sedangkan kaum perempuan hanya mengenakan jarit, kemben, dan selendang warna putih.
Acara Unggah-Unggahan atau Sadranan Kyai Bonokeling sendiri dimulai sejak Kamis (21/7), atau dua hari lalu.
Awalnya, para pengikut yang berasal dari luar daerah di kabupaten Cilacap mulai berdatangan pada hari Kamis. Mereka datang dengan membawa berbagai kebutuhan. Beberapa diantaranya berupa kebutuhan pokok. Ada kue, beras, cabai, aneka sayuran, telur, ayam bahkan ada kambing. Barang-barang ini adalah wujud rasa syukur mereka atas limpahan rejeki dan nanti akan direlakan untuk berpindah tangah.
Setelah para pengikut (baik yang datang dengan kendaraan maupun berjalan kaki) sampai di Desa Pekuncen, mereka disambut trah Bonokeling di Desa Pekuncen sebagai tuan rumah. Mereka disambut di desa perbatasan. Sambil menanti tamu lain, para penjemput dari Pekuncen melakukan sungkeman kepada tokoh adat desa tetangga. Ini menjadi pertanda para tamu dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Pekuncen.
Selanjutnya, warga Pekuncen bertanggungjawab atas barang-barang yang dibawa. Semua dibawa beriringan, tanpa saling mendahului. Itu adat yang harus dipatuhi.
Setelah dipetuk, para Pengikut Bonokeling itu istirahat di rumah warga. Ada juga yang istirahat di komplek Makam Bonokeling yaitu di Bale Mbangun.
Saat istirahat di rumah warga dan Bale Mbangun itu. para pengikut Bonokeling melakukan sowan ke rumah ketua kelompok adat atau biasa disebut Rumah Bedogol pada malam harinya. Rumah Bedogol ini masih seperti bangunan jawa. Khasnya bangunan jawa adalah rumah dengan ruangan yang luas yang bisa menampung banyak orang.
Di Rumah Bedogol itu, para pengikut sowan ke masing-masing ketua adat. Mereka juga memanjatkan doa di rumah Bedogol agar kegiatan yang unggah-unggahan yang akan dilakukan esok harinya lancar. Disamping itu, juga mereka berdoa bagi yagmenginginkan sesuatu.
Rumah Adat Bedogol Bonokeling sendiri ada 5, dengan satu juru kunci tertua. Lima Rumah Bedogol masing-masing adalah Rumah Bedogol Martasari, Martaleksana, Padawirja, Wiryatpada, dan Padasumadi. Untuk juru kuncinya atau yang tertua adalah Rumah Bedogol Bonokeling Kartasari.
Selesai melakukan sowan ke Rumah Bedogol, para pengikut ini istirahat lagi. Esok harinya, ritual unggah-unggahan dimulai.
Acara pertama dilakukan dengan menyembelih dan memasak bersama. Tercatat, pada acara kemarin, ada 17 ekor kambing yang disembelih. Kambing-kambing ada yang berasal dari Rumah Bedogol, ada juga yang dari 'Munjung' atau orang yang ikhlas memberikan kambing.



Setelah itu, kambing dimasak. Selanjutnya, ribuan orang yang datang itu mulai melakukan prosesi ritualnya. Bagi perempuan, mereka berkumpul dari sekitar komplek Rumah Bedogol Juru Kunci. Mereka wajib menggunakan pakaian adat berupa kemben dan jarit. Yang lelaki memakai ikat kepala dan Sarungan.
Mereka kemudian berjalan menuju ke Makam Bonokeling. Di pintu gerbang pertama, mereka mengantri untuk masuk.  Setelah dipelataran pertama, para perempuan diwajibkan untuk mensucikan diri dengan air di padasan (seperti tempat wudhu) yang telah disediakan. Mereka bergantian. Saking banyakanya, mereka mengantri dan duduk di tanah di pelataran gerbang pertama. Setelah mereka bersuci dengan air di Padasan, mereka naik atau mengunggah diri melalui tangga menuju ke komplek Balai Agung. Di situ, pengikut Bonokeling melakukan ritual seperti berjongkok dan tangan seperti menyembah sambil berdoa.
Setelah itu, mereka masuk ke makam Bonokeling. Makam Bonokeling sendiri ada di pelataran paling atas.  Ada dua bangunan seperti segitiga yang menjulang ke atas. Para pengikut kaum perempuan ini kembali berdoa di sekitar komplek makam. Setelah berdoa, mereka kemudian mundur ke sisi kiri. Mereka akan keluar dari makam Bonokeling dengan memutari dua bangunan di komplek makam itu.
Selesai dari situ, para pengikut yang kaum perempuan akan menuju lagi ke salah satu pelataran yang dipagari dengan gethek. Di situ mereka kembali berdoa. Satu persatu mereka memanjatkan doa. Setelah selesai di situ kaum perempuan akan kembalikeluar dari komplek makam Bonokeling.
Untuk kamu laki-laki, Sadranan yang mereka lakukan lebih pada membersihkan Makam Kyai Bonokeling. Mulai dari bersih-bersih sampah daun, hingga mengecat pagar dan lainnya. Setelah selesai, kaum laki-laki ini akan duduk dan menunggu malam di Bale Agung.
Kemudian  pada Jumat malam atau semalam,  mulai pukul 00.00 hingga 04.00 WIB, seluruh kaum laki-laki menggelar dzikir bersama yang dilafalkan dengan bahasa Jawa. Nuansanya, terang Sumitro, melantunkan puji-pujian. Serangkaian doa dipanjatkan kepada Sang Maha Kuasa. Nyadran dimulai di Pekuncen. Asap dupa yang erat dengan setiap ritual adat di Pekuncen mengepul di Pasemuan Komplek Makam Bonokeling.
"Lantunan puji-pujian dan doa terus terdengar dan menembus kesunyian malam. Bagi penganut Islam Kepercayaan di Pekuncen, nyadran adalah ritual tahunan yang harus diikuti," ungkap Sumitro.
Keesokan harinya, kata dia, para peziarah itu secara bergantian melakukan pisowanan pertemuan dengan juru kunci makam Bonokeling, Kartasari (65), di Bale Agung.
Pada Sabtu esok ini, para pengikut Bonokelingini akan kembali ke rumah masing-masing.
Juru Bicara Makam Kyai Bonokeling Sumitro (50) mengatakan, Desa Pekuncen, di Kecamatan Jatilawang, khususnya di Komplek Makam Bonokeling dianggap sebagai pusat utama dari adanya Tradisi Bonokeling. Makam Kyai Bonokeling telah menjadi Makam cagar budaya yang dilindungi dengan Undang-Undang.
"Ribuan warga dari daerah manapun akan datang ke Desa Pekuncen. Bonokeling. Mereka merupakan Kerabat Bonokeling yang mengelana atau mengembara," kata Sumitro.
Kegiatan Sadranan atau Unggah-Unggahan ini merupakan bentuk penghormatan bagi leluhur Bonokeling. Dikatakan dia, para sepuh atau tetua adat Bonokeling sebenarnya mengetahui siapa sejatinya sosok Bonokeling yang makamnya ada di desa itu tetapi mereka tidak boleh menceritakannya kepada masyarakat umum.
Pengikut Kyai Bonokeling yang berjalan dari segala penjuru nusantara bersiap melangkah ke Makam Kyai Bonokeling. Upacara ini dilakukan tiap 7 hari sebelum masa puasa Ramadan.
"Kami tahunya hanya Bonokeling saja," kilah Sumitro tak mau menjelaskan. Sumitro mengatakan, Bonokeling merupakan sosok yang berasal dari Kadipaten Pasir Luhur yang berada di bawah Kerajaan Padjajaran. Ungah-unggahan ini dilakukan pada Jumat terakhir bulan Ruwah (kalender Jawa) untuk selalu datang ke makam Bonokeling untuk menggelar tradisi "unggahan".
Kepemimpinan kyai juru kunci sendiri diwariskan secara turun temurun dan haruslah keturunan langsung dari Kyai Bonokeling. Sang kyai juru kuncilah yang memiliki peran sentral diacara nyadran di Pekuncen ini.
Beberapa pengikut Bonokeling yang ditemui mengatakan sudah melakukan unggah-unggahan sejak kecil. Sanmiarja (53), warga Dusun Sidaurip Kecamatan Binangun mengaku datang sejak Kamis. Dia datang dengan menggunakan kendaraan bersama 15 rombongan lain. Di Dusun Sidaurip Binganun sendiri, kata dia, ada juga empat Bedogol yang merupakan pemberian dari Adat Bonokeling Pusat. Dikatakan dia, Bedogol yang ada yaitu Sidare Kulon, Sidare Tengah, Sidare Tengah, Kertapada, dan Rasino.
"Kami adalah keturunan dan kerabat dari Bonokeling. Kami akan terus melakukan tradisi ini. Sebab, dari dulu, dari Nenek Moyang dan Buyut Saya sudah kesini," tandas Sanmiarja yang juga Ketua di Kelompok Adat Rasino.
Ditempat lain,Kartobasirun, warga Dusun Pesanggrahan, Kecamatan Kroya datang dengan 98 orang lain. Mereka datang dengan kelompok Dusun Pula Kecamatan Pekuncen, Kroya. Pada jaman dulu, datang ke Jatilawang masih dengan berjalan. Namun, adat pusat di Jatilawang ini sudah membolehkan memakai kendaraan.
Masih ditambahkan Juru Bicara Sumitro, siapapun yang masuk ke Makam Bonokeling harus memakai jarit dan ikat kepala bagi laki-laki. Bagi perempuan juga pakai jarit. "Termasuk anda teman-teman wartawan. Semua harus pakaiikat kepala dan sarung. Bila tidak maka akan diusir oleh kami Beginilah kami menjaga tradisi ini agar terus lestari," ungkapnya. 
Kades Pekuncen Kecamatan Jatilawang Suwarno mengatakan, tradisi Bonokeling ini akan terus diuri-uri. Masuknya Desa pekuncen dengan Tradisi Bonokeling sebagai Desa Adat menjadi langkah yang paling baru untuk menguri-uri Budaya.
"Pada awal Juli lalu, kami presntasi ke Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Kemendagri. Kami mengusulkan desa adat. Dan itu disetujui oleh Pemerintah Pusat. Saat ini, kami akan menyusun penguatan kelembagaan kelompok adat dan mencari sejarah dari Desa Pekuncen dengan Bonokeling," ungkap Suwarno ke wartawan kemarin. (tangkas pamuji)

Komentar