Para penghulu di Banyumas, Cilacap,
Banjarnegara, dan Purbalingga tiba-tiba kompak. Serempak. Satu suara.
Tidak melayani pencatatan pernikahan di luar KUA Kecamatan. Mereka tiba-tiba duduk manis di kantor,
masuk sesuai jam kantor. Mereka dikabarkan tak lagi memenuhi undangan
sebagai wakil negara untuk mengawasi dan mencatat nikah di luar kantor.
Padahal, selama ini, untuk menemui
penghulu di KUA terkadang sulit. Sebab, mereka sedang membantu warga di
pelosok-pelosok desa untuk mencatatkan dan menikahkan pasangan
pengantin. Namun, duduk manisnya para penghulu di
KUA bukan dianggap mogok. Mereka juga merasa tidak mogok. Mereka hanya
mengembalikan layanan sesuai hak dan kewajiban penghulu. Haknya menerima
gaji, kewajibannya mengawasi dan mencatat nikah sesuai jam kerja Kantor
Urusan Agama. Mereka juga masih melayani pencatatan pernikahan di KUA.
Aksi itu dilakukan karena, menurut
mereka, salam tempel ”seikhlasnya” dari mempelai ketika bertugas kini
dipersepsi sebagai gratifikasi. Memang, selama ini tak ada yang rewel
mempersoalkan salam tempel, karena momen pernikahan memang momen
membahagiakan.
Namun, salam tempel itu tiba-tiba
menjadi dahsyat mencoreng kebahagiaan. Itu setelah Romli, Kepala KUA
Kecamatan Kota Kediri, Jawa Timur ditangkap Pihak kejaksaan Negeri
(Kejari) kota Kediri, Jawa Timur 31 Oktober 2013 lalu.
Kepala KUA Kota Kediri itu dituduh
memungut Rp 225.000 untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000 di
dalam kantor. Romli mendapatkan jatah Rp 50.000 sebagai petugas pencatat
nikah plus Rp 10.000 sebagai insentif kepala KUA yang diterimakan lewat
bendahara KUA. Padahal, peraturan pemerintah hanya memungut biaya nikah
Rp 30.000.
Kalau dihitung, dari masa tugas 2 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012 ada 713 pernikahan atau jatah Romli sekitar Rp 42 jutaan.
Kejari menganggap Kepala KUA Kecamatan
Kota Kediri menerima gratifikasi setelah menikahkan pasangan mempelai di
luar balai KUA dan di luar jam kerja. Saat ini kasus tersebut bergulir
di meja hijau dengan jeratan dugaaan menerima gratifikasi.
Romli juga didakwa melanggar Pasal 11,
12e, 12g Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
dengan ancaman hukuman penjara di atas lima tahun.
Sekarang, mari kita sadar. Biaya
informal pelayanan publik seperti “salam tempel” menimbulkan
ketikdakpastian dan membuat penghulu cemas karena tidak mau dianggap
menerima gratifikasi. Rasanya, bagi masyarakat, nikah jadi repot. Kalau
dulu tinggal duduk manis di tempat akad nikah di rumah, dan menunggu
penghulu datang, bisa-bisa mereka harus boyongan ke KUA, pada jam kantor
pula. Belum lagi, harus berombongan bersama keluarga.
Tapi, perlu diingat, munculnya kasus ini
harus membuat sadar mempelai dan calon mempelai. Bahkan, mantan
mempelai yang telah menikah puluhan tahun lalu juga harus sadar.
Ternyata, pemberian ‘tempel’ kepada petugas negara yang mencatat nikah
itu pungli dan gratifikasi.
Semoga ini membawa nuansa kesadaran
moral baru. Masyarakat sadar bahwa menikah di KUA itu hanya butuh Rp 30
ribu. Lebih mudah. Simple. Ruangan sudah disediakan. Tak perlu lagi
menambahi biaya yang sudah sesuai Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2004
tersebut.
Apalagi, pada Rabu, 18 Desember 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dan Kementerian Agama RI sudah sepakat jika seorang penghulu yang
menerima amplop dari pihak yang menikah merupakan gratifikasi. Sebab
itu, penghulu tersebut wajib melaporkan penerimaan itu kepada KPK. Hal
itu dirumuskan dalam rapat antara KPK, Kementerian Agama dan Kementerian
Keuangan yang digelar di kantor KPK.
“Praktik penerimaan honor, tanda terima
kasih, atau pengganti uang transport dalam pencatatan nikah adalah
gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan
Tipikor,” ujar Giri Supradiono, Direktur Gratifikasi KPK.
Semoga, pihak KUA juga kemudian menjadi
lebih ikhlas untuk menerima uang yang hanya Rp 30 ribu sesuai UU. Toh,
Irjen Kemenag Jasin dan Menteri Agama Suryadharma Ali sudah
memperjuangkan tunjangan buat penghulu. Pada APBN 2014 disetujui Rp 500
miliar untuk tunjangan mereka. Meski, kata Jasin, idealnya Rp 1,2
triliun (JPNN, 8 Oktober 2013). (*)
Komentar