Polwan Berjilbab, Jangan Hanya Penutup Aurat

Alkisah, tahun 1400 M, Sulthanah Sri Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu yang memerintah kerajaan Samudra Pasai hingga 1427 M sudah berjilbab. Hal ini terlihat pada lukisan yang dibuat pemerhati Sejarah Aceh sekaligus pelukis kelahiran Aceh Utara, Sayeed Dahlan Al Habsyi. Dalam lukisannya. Dia menggambarkan Ratu tersebut (Ratu Nihrasyiah dan Ratu Safiatuddin) memakai baju lengan panjang dengan kerudung.
Sejarawan, Muhammad Ali Hasjmi (A. Hasjmi) dalam buku berjudul; 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu; pada halaman 206, turut memperkuat lukisan Sayeed Dahlan. Setidaknya, itulah gambaran dimana jilbab mulai masuk ke Indonesia, terutama di Aceh yang sekarang ini merupakan Daerah yang Diistimewakan.
Melonjak tahun 1800-1900an, dalam buku Api Sejarahnya Ahmad Mansur Suryanegara halaman 422 dan 424, memperlihatkan jilbab secara tertutup, seperti yang dipakai Nyai Achmad Dahlan beserta pengurus Nasyiatul Aisiyah Muhammadiyah.
Setelah beberapa dekade, 13 Juni 2013 lalu, Ketua Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam Indonesia, KH Said Aqil Siroj menyayangkan Polri masih tidak membuat aturan jelas tentang Polwan berjilbab. Pria yang menjabat ketua umum PBNU ini mengusulkan agar polwan berjilbab. Seragam Jilbab, terang dia, menutup aurat tapi tetap lincah beraktivitas. Tak cuma Said, Ketua MUI KH Muhyidin Junaedi, juga demikian.
Kemarin, 19 November 2013, Polemik boleh tidaknya polisi perempuan alias Polwan memakai jilbab menemukan titik terang. Kapolri Jenderal Sutarman memberikan izin bagi para polwan untuk mengenakan jilbab.
Meski masih berupa ucapan lisan, pernyataan Kapolri memberikan angin segar Polwan yang ingin mengenakan jilbab saat berdinas.
“Mulai besok (Rabu, 20/11, red), kalau ada yang mau pakai (jilbab) saat tugas, tidak masalah,” kata Sutarman. Di Surabaya, Kasubbaghumas Polrestabes Surabaya Kompol Suparti menyebut di jajarannya sudah cukup banyak polwan yang ingin berjilbab.
Di Banyumas, sampai saat ini, belum pernah ditemui petugas polisi yang memakai seragam menggunakan jilbab di jalanan. Belum pernah terlihat Polwan berjilbab yang mengatur lalu lintas. Belum ada Polwan berjilbab yang menerima laporan polisi di tiap sektor.
Ke depannya, atas kebijakan Sutarman yang rendah hati ini, tentu Polres Banyumas, juga mengikuti kebijakan ini. Tinggal menunggu edaran resmi Polri, maka jangan kaget jika menemui Polwan berjilbab mengatur lalu lintas di Banyumas di tiap waktu.
Namun demikian, jilbab bukan hanya sebagai pelengkap saja. Jauh dari itu, masyarakat membutuhkan polisi yang mengayomi. Jauh dari itu lagi, masyarakat membutuhkan polisi yang jujur. Lalu, masyarakat juga membutuhkan Polisi yang tegas untuk mengatakan tidak menerima suap. Ditambah lagi, masyarakat membutuhkan polisi yang seragamnya tidak untuk melakukan pungli.
Maka, ketika jilbab diperbolehkan, sudah selayaknya tidak hanya sebagai penutup aurat. Namun, lebih dari itu, penutup dari segala perbuatan jahat dan kemaksiatan. (Semestinya) Petugas polisi yang agamis pasti akan loyal kepada peraturan, pemimpin dan Undang-Undang, serta agama. Hal ini akan menjadi modal besar untuk menegakkan hukum. Semoga. (*)

Komentar