Wenger, Pallegrini, atau Mourinho


Sepekan ini, rivalitas klub-klub Inggris begitu kentara. Memuncak, lalu digusur. Langit biru di atas stadion-stadion besar di Inggris seolah terus mengibarkan bendera perang urat syaraf. Perang puncak klasemen sementara sambil berdoa semoga sampai di akhir musim nanti. 

Hanya empat siang dan empat malam, puncak juga terus berubah.

Sabtu (11/1), pimpinan puncak klasemen sementara Arsenal digusur Chelsea yang tadinya berada di urutan ketiga setelah menekuk Hull City 2-0. Hebatnya lagi, Mancehester City dibuat melorot ke tiga. Chelsea 46 poin, Arsenal 45 poin dan City 44 poin.

Minggu (12/1), City mengambil alih pimpinan klasemen sementara setelah mengalahkan Newcastle 2-0. City di puncak dengan 47 poin, Chelsea  46 poin dan Arsenal turun ke urutan ketiga dengan 45 poin.

Selasa dini hari, Arsenal tak terima dan kesurupan untuk merebut tahta klasemen sementara kembali. Giroud dkk membekuk Aston Villa 2-1. Arsenal 48, City 47, dan Chelsea 46.

Di posisi empat yang tak boleh dilupa adalah Liverpool dengan 42 poin yang memiliki Suarez sebagai top skor Liga Inggris.  

Saat rivalitas puncak begitu tinggi, marilah mengingat Woody Allen. Pria yang lahir di New York City, 1 Desember 1953. Dia terlahir dengan nama Allen Stewart Konigsberg. Seorang aktor, sutradara film, penulis, musikus (Klarinet), dan pelawak asal Amerika Serikat. 

Pada film, To Rome With Love, Woody menggugah sesuatu yang diutarakan secara puitis. Bahwasanya, kesementaraan itu kadang tidak bikin kita jadi mau bersyukur, tapi malah membuat sesuatu itu menjadi tidak berarti, menjadi tidak penting. Film itu bercerita tentang kefanaan popularitas.

Barangkali, Wenger, Pallegrini, Mourinho telah tersihir Woody. Ketiga arsitek dari tiga tim masing-masing Arsenal, Manchester City dan Chelsea saling berlontar sumpah serapah bahwasanya kesementaraan yang diucapkan Woody telah menjadi nyata adanya.

Menjadi nyata karena ketiga pelatih itu tak mau terpana. Menjadi nyata karena sesuatu di puncak sementara itu tidak berarti, dan tidak penting manakala bubar tidak beraturan di akhir musim.

Bahkan, Pelatih Barcelona, Gerardo Martino yang berkompetisi nun jauh dari Inggris, tergila-gila pada sang aktor, Woody. Bagi dia, puncak sementara yang dianggap sebagai kesementaraan bukan apa-apa.

“Juara musim dingin (paruh musim)? Itu tak berarti apa-apa. Tak ada yang mengingat juara musim dingin. Saya lebih memilih menjadi juara musim panas,” tandas Martino usai laga imbang melawan Atletico Madrid.

Manajer Arsenal Arsene Wenger sendiri mengakui kompetisi sangat menarik. Tim paling konsisten akan berakhir di posisi teratas. Hasil klasemen sementara menjadi hal yang tidak penting kala di akhir musim tak juara. Wenger yang mendatangkan sang raja asist Mesut Ozil sebagai pembelian termahal di jagat sejarah Arsenal mengungkapkan telah tidak juara selama delapan tahun. Kini, dia kesempatan baik untuk menunjukkan bahwa kami cukup baik.

Mancehester City yang sering disindir dengan julukan - FC Money - juga luar biasa. Sindiran FC Money diambil karena sang pemodal pemilik kaya raya Sheikh Mansour bin Zayed al Nahyan, penguasa Abu Dhabi, menyulap Manchester Timur (home base Manchester City) menjadi sama seperti Old Trafford, homebase MU.

Mengutip dalam @dalipin68, Sheikh punya uang. Punya visi. Menginginkan Manchester City bukan sekadar menjadi raja di Manchester, tetapi juga Eropa, dan dunia. Kini, PR ada di tangan pallegirini bersama Negrado cs.

Lalu Pelatih Chelsea, Mourinho sadar betul posisi klasemen sementara.

"Kami terpaut dua angka di belakang para pemuncak klasemen, maka kami punya alasan untuk tepat melaju," klata Mou dengan sadar.

Lalu, siapa yang konsisten sampai akhir musim nanti. Sekali saja terpeleset (kalah), tekanan makin hebat. Berhasil atau tidaknya seperti yang diimpikannya, waktulah yang akan menentukan. Wenger, Pallegrini, atau Mourinho. Pilih mana?

16 Januari 2014

Komentar