Siapkah Kita Saat Gunung Slamet Njebluk ?

Gunung Slamet. Begitulah namanya. Begitu besarnya. Bahkan, terbesar di Pulau Jawa. Gunung Slamet juga gunung tertinggi kedua setelah Gunung Semeru di Pulau Jawa. Paska status naik, dan ditetapkan waspada, dalam sehari Selasa (11/3) kemarin, Gunung Slamet diguncang gempa sampai 124 kali.        
    Dari data di Pemantauan Gunung Slamet Desa Gambuhan Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, gempa yang terjadi masuk kategori gempa ringan. Berdasar pantauan hingga pukul 00-12.00, visual cuaca terang, angin tenang. Hembusan putih sedang sampai tebal ke atas sampai 50 meter bahkan  400 meter.
    Peningkatan aktivitas Gunung Slamet tercatat dalam data rilis Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Bandung menyebabkan gempa hembusan 441 kali dan gempa vulkanik dalam sebanyak 9 kali. Kejadian itu dalam kurun waktu 8-10 Maret kemarin.
    Ya, Gunung Slamet sedang bergejolak.
    Setelah Sinabung yang erupsi hingga berbulan-bulan, Gunung Slamet juga ketularan. Sebelum ketularan ini, Gunung Kelud di Jatim mendahului erupsi. Abunya Kelud, berpetualangan dari Jatim sampai ke Jakarta. Begitu dahsyatnya dampak letusan Kelud yang hanya setinggi 1.730 meter diatas permukaan laut sampai menyelimuti Jawa dengan abu.
    Tak terbayangkan, jika Gunung Slamet yang tingginya dua kali lipat Kelud, 3.432 meter diatas permukaan laut itu meletus. Tak terbayangkan, gunung terbesar di Jawa itu mengeluarkan abu hingga dua kali lipatnya Gunung Kelud. Tak terbayangkan jika lava pijar Gunung Slamet itu keluar dari Gunung terbesar di Jawa ini.
    Akibat bayangan yang mengerikan bila Gunung Slamet meletus ini, semua masyarakat bertanya-tanya, apakah Gunung Slamet akan erupsi?     Redaksi Radar Banyumas saja sampai banyak sekali mendapat pertanyaan tentang kondisi terkini. Mereka semua berharap agar Gunung Slamet tidak meletus. Setidaknya, jangan meletus hari ini. Masyarakat berharap, meletusnya entah kapan, jauh di masa depan.
    Namun, semisal doa terkabul dan Gunung Slamet tidak meletusnya pada saat ini, kedepannya (yang namanya Gunung Aktif) juga akan meletus! Gunung Slamet (suatu saat) menjadi bencana bagi masyarakatnya. Gunung Slamet yang adalah gunung aktif itu tetap bakal membara. Entah kapan, suatu saat nanti? 
    Karena itu, ada satu hal prinsip yang harus dibangun sejak sekarang. Hal prinsip yang sebenarnya sudah terbilang terlambat. Terlambat karena seharusnya dilakukan secara kontinyu dan sejak dahulu.     Hal prinsip itu adalah membangun kesiapan masyarakat menghadapi bencana meletusnya Gunung Slamet mulai sejak pra bencana, bencana dan paska bencana.
    Pemkab Banyumas, Purbalingga yang berada di sisi selatan Gunung Slamet sebenarnya sudah memiliki peta evakuasi jika Slamet meletus.  Pemkab juga Memiliki peta daerah rawan bencana jika Slamet meletus. 
    Namun, seingat saya, sejak menjadi wartawan di tahun 2007 lalu, belum ada sosialisasi, ataupun simulasi jika Gunung Slamet meletus ke desa-desa rawan bencana (Semoga, ini hanya ketidaktahuan saya tentang langkah Pemkab yang sebenarnya telah mensosialisasikan).
    Sosialisasi rawan bencana gunung meletus yang begitu pentingnya harus dimulai kepada masyarakat-masyarakat sejak dini. Baik ke siswa SD, remaja, ibu-ibu, sampai orang tua. Mereka harus tahu, bagaimana menghadapi pra bencana, saat bencana, sampai paska bencana. Sosialisasi yang terus menerus sampai jauh ke masa depan. 
    Masyarakat harus benar-benar diberitahu bahwa bencana itu bisa diatasi dengan cepat, baik, tidak memakan korban jiwa, dan bisa menimbulkan kerugian yang hanya sedikit. Maka, ketika kesiapan masyarakat akan bencana sudah matang, mereka sudah siap dalam keadaan serba terbatas karena bencana.
    Sedikit air, sedikit listrik, korban yang punya penyakit kronis tidak mempunyai obat, bensin kosong, pasokan terlambat, ekonomi lumpuh dan lainnya. Itulah antara lain penderitaan bila ada bencana,
    Jepang saja sudah tahu kapan datangnya bencana tsunami, gempa dan gunung meletus. Bahkan, bila bencana terjadi, seluruh warganya bersatu. Tidak ada penjarahan sama sekali.
    Karena itu, tirulah Jepang yang sudah lebih baik soal bencana. Maka, sebelum Gunung Slamet meletus, kita (masyarakat) wajib mengetahui bagaimana caranya menghadapi bencana demi kehidupan yang lebih baik. Bukan malah bertanya? "nyong kudu kepriwe kie," (*)

Komentar