Operasi itu Pasrah Sama Tuhan

(catatan lama baru sempat upload)

    Dinding kamar cempaka 3 RSMS berwarna krem kusam Rabu 27 Agustus 2014. Dinding kusam laksana wajahku yang masam menunggu giliran dipanggil operasi.
    DENTING waktu, waktu itu menunjuk angka tujuh. Aku sudah diberi baju dan penutup kepala khusus untuk melakukan persiapan operasi dari seorang perawat yang mendadak ramah. Usai dikasih, kuletakan saja baju itu di sampingku. Kupikir, baju itu benar benar akan kupakai kalau dipanggil kembali sama perawat.
    Dua jam berlalu. Cemasku pun sudah mengikuti sampai dua jam. Menggodok kecemasan dalam rentang dua jam membuatku bercucur keringat. Dilain pihak, istriku, Anggit Fitriani yang sedari Rabu pagi menemaniku, juga tak henti memandang jam di dinding.
    Baju memang masih tergeletak. Belum kupakai. Tapi, hatiku sudah berkecamuk. Bayangan operasi kala aku menatap baju itu benar benar nyata.
    Gunting yang kemlontang di wadahnya, lalu pisau bedah, lampu sorot bundar yang terangnya keterlaluan bagi retina mata. Belum lagi tatapan beberapa orang yang pasti mengenakan seragam ijo laksana malaikat penjemput maut.
    Satu lagi, tatapan dokter yang tegas dan siap untuk menyayat luka penyakit yang kuderita bakal ada di ruang khusus operasi meski kuyakin itu untuk bagian dari proses kesembuhan. ketakukan ini makin bertambah karena, tiga bulan lalu, aku telah masuk ke ruang operasi margono soekardjo. Waktu itu, aku memotret aktivitas dokter dan stafnya untuk suatu majalah.
    Maka, saat ini, di ranjang cempaka, saat menunggu panggilan operasi, bolehlah aku cemas kelewat batas. Cemas karena mengetahui kejamnya dokter bedah yang tega mengurak-ngurak bagian yang sakit dengan pisau atau gunting agar sehat kembali.
kecemasanku tiba-tiba buyar. Byar. Hilang.
    Istriku yang sebenarnya lebih cemas kelewat batas, justru menyuruhku memakai baju operasi itu.
    Sekonyong-konyong, baju dipakaikan. Di masukan ke tanganku satu persatu setelah baju basah yang semalaman kupakai dilepas. Kait dibelakang baju operasi pun diikat. Lalu, penutup kepalanya pun dipakaikan.
    Mundur dua langkah, istriku mengambil benda di saku. Memegang dengan senyum, benda itu diarahkan ke muka.
    Jepret. Aku difoto.
    Aku hanya terdiam. Melihat hasilnya, istriku manyun. kata dia, semestinya dikasih senyum manis kala memakai baju itu.
    Lalu, dihadapkan kamera hape itu kembali. Kali ini, sekalian aku berpose. Aku mengangkat dua jari tanganku. tapi, jari itu bukan berarti kemarin aku mendukung joko widodo jadi presiden. Lengkapnya, itu adalah dua jari kegalauanku karena mau dioperasi sekaligus mendengar bbm mau naik oleh jokowi.
    Pesta dua menit untuk menghilangkan kecemasan usai. Istriku menunduk lagi. Aku yang mau dioperasi dibagian sekitar dubur kembali tertunduk. Aku diam. Pun begitu istriku. Sama sama saling pegang hape meski entah apa yang dipencet.
    Dua kali dua jam berlalu sudah. berarti sudah pukul 11 sejak aku dikasih baju operasi. Selama waktu itu, aku hanya berdoa-berdoa bersma istriku. Pasrah. Apapun keputusan tuhan atas operasiku semoga diperlancar. Hanya itu. Aku juga yakin saja mampu melewati karena Allah Swt sudah memastikan siapapun yg dicintai dengan segala bentuk dan keinginannya, pasti akan mampu melewati.
    Panggilan datang
    Tiga puluh menit dari pukul sebelas berlalu. Tiba-tiba pintu kamar cempaka 3 dibuka. Sudah saatnya bergerak menuju ruang operasi. Perawat siap untuk mendorong tempat tidurku.
    Di perjalanan menuju ruang operasi. Aku seperti orang yang tak berdaya sama sekali. Bismillah, kata itu juga terus diucapkan perawat-perawat yang kutemui saat aku digeladak dengan tempat tidurku. Semoga lancar ya. Itu yang terngiang. Lalu, menutup kecemasanku, aku menghibur dengan keyakinanku. Tepatnya bukan menghibur. Tapi memasrahkan. Aku melantunkan al fatihah. Dengan syahdunya. Aku memejamkan mata.
    Memasuki ruang operasi, aku yang diantar dua perawat, istriku, dan bulikku, hanya terus berdoa. Aku makin cemas, meski sudah pasrah. Apalagi, saat satu persatu tak boleh menemaniku.
    Bulikku diminta berhenti mengantar dan cukup sampai di lantai satu. Istriku mulai panik. Matanya mulai sembab. Memang masih boleh naik lift untuk menuju lantai dua bersama perawatnya.
    Tapi, saat mau keluar dari lift, istriku diminta untuk turun lagi. Dengan sembabnya, dia menuruti kata kata dua perawat itu. Aku pun lepas dari genggaman istriku.
    Kini, saat aku tergeletak di pembaringan di pintu utama operasi, aku sudah pasrah...... ?? Begitu cus bius lokal di setengah bagian ke bawah, kakiku sudah tak bisa diangkat meski otak berkeras mengangkat sarafnya. Maka, aku pun pasrah sama tuhan sekaligus kagum pada dunia kedokteran yang sudah sangat hebat bikin kakiku tak berdaya saat itu. 
    Sejam kemudian, aku bisa tersenyum keluar dari ruang operasi. Tak merasakan apapun proses pembedahan yang dilakukan tim dokter. Tapi, setelah dua jam berlalu, aku pun meringis menahan sakit karena bius sudah habis. Sakit ini baru hilang selang tiga bulan selanjutnya. (ternyata aku mengalami penyakit abses, klik saja di google abses itu apa. sudah ya..)

Komentar