Curug Gunung Batur, Lumbir, Kecamatan Banyumas



Sungguh, Pesona Asli Banyumas 
 Di balik hijaunya punggungan perbukitan, merekahlah warna putih dan biru dari langit yang mengangkasa. Matahari yang masih setia menemani keduanya, tak merasa lelah untuk terus memberi kehangatan. Menampak lewat cahaya, sinarnya tak sungkan menyapa semilirnya angin perbukitan.
    Dalam ketakjuban siang itu, sebuah air terjun ikut menghias mereka. Laksana dongeng kayangan, air terjun itu memancar hingga menerjang batu di bawah. Memberi kehidupan pada lumut yang menempel di dinding air terjun.  Memberi harapan pada seluruh jaring ekosistem. Mengalir jauh ke bawah, memberi hidup pada manusia.
    Pada perjalanan kisah mereka, biarlah air terjun Gunung Batur itu tetap setia hingga akhir jaman. Setia saling menyapa, saling menanti dalam duka lewat hujan, maupun menanti senang dalam cerahnya hari. Orang-orang yang datang, hanya akan cemburu pada kesetiaan mereka. Termasuk kami.




 
 
    Ya, itulah salah satu tabir keindahan Banyumas. Seolah tak pernah usai, kami (untung, penulis dan khamdani) kembali jalan-jalan menuju ke air terjun (curug). Kali ini, kami menempuh rute panjang dari Purwokerto selama satu jam (menuju ke kecamatan Lumbir).
    Melalui jalan raya, jalan desa, hingga masuk ke pelosok. Perjalanan akhirnya benar-benar sampai pada ujung jalan yang sudah tak diaspal lagi. Tak itu saja. Kami juga benar-benar sampai pada ujung hutan perbukitan yang tak bisa kami jangkau seenaknya. Dengan mengumbar senyum ke warga pribumi lokal, lalu kami menanyakan rutenya.
    Diawali dari jalan setapak di samping Masjid (Alm) Nooran Abdullahal Ojayu, Desa Cirahab, yang merupakan bantuan dari Kuwait ini, kami menyusuri Sungai Batur. Sekitar 30 menit kemu- dian, sam- pailah pada curug itu. Namanya curug pengantin. Kecil airnya, namun segar rasanya. Itu baru awal. Penduduk lokal, bernama Arsawirana mengungkapkan, masih ada yang eksotis lagi. Lokasinya, ada diatas curug pengantin.
    "Kalau curug pengantin ini kecil, atasnya yang besar," ungkapnya kala menanam palawija di lahan tumpangsari antara kayu pinus ini.
    "Dari sini butuh waktu 30 menit," katanya lagi.
    Oh ya, Arsawirana ini menceritakan kisah Curug pengantin. Ini adalah cerita sekedar cerita yang turun temurun di mata masyarakat lokal. Tak bisa kami abaikan. Dari merekalah kami belajar soal kearifan lokal. 
Konon, kata dia, ada pengantin baru yang berkebun. Mereka menjaga kebun ladangnya di gubuk. Namun, saat menunggu, seekor uler (keket) jatuh dan menimpa di kalung sang perempuan. Seketika, sang pengantin mengibaskan kalung hingga terbang ke atas curug. Sayang, saat keduanya mencari kalung itu, malang menimpa. Mereka terjatuh.
Usai menyusuri curug pengantin dan bertemu Arsawirana, kami menuju ke atas. Benar saja, dengan mengikuti peralon milik warga, curug itu menghampar di mata kami. Maha Besar Allah SWT. Itulah Curug Gunung Batur, yang airnya laksana turun dari kayangan dan berada di atas Curug Penganten. (tangkas pamuji)








   

Komentar