Antara Gadget/Hape, Istri dan Anakku

Ini sebuah pengalaman pribadi. Tepatnya, mendapat pengalaman agar bisa menjadi ayah dan ibu (cielah.. gaul nemen anake manggil ayah ya. Ramane lah iya.. ) yang hebat dengan doa yang terus mengalir saat kami sudah usai di dunia.    

    Kisahnya baru kudapat sore tadi, Rabu (16/3).



    Begini : sore tadi, aku yang sudah beraktivitas selama seharian begitu lelah. Termasuk, istriku yang juga sangat lelah sehabis bekerja sepagian mengajar di SMP Gunungjati, Kembaran, Banyumas.

    Sementara Raisa, anakku yang pertama (kukatakan pertama karena semoga mendapat amanah lagi..) baru bangun dari tidur siangnya sejak pukul 10.00 sampai dengan 14.00. Tidur dengan sangat pulasnya.

    Di kelelahan itu, aku pun memanjakan diri dengan memegang smartphone di depan tv. Sementara, istriku yang juga sedang tidak enak badan, langsung selonjor di kamar untuk istirahat. Sebelum aku memanjakan diri, Raisa memang sudah meminta untuk ngedot.

    Namun, tiba-tiba, anakku ramai sendiri dan teriak-teriak setelah susu di dalam dotnya habis.

    "Icha sama siapa. Ibu bubu, ayah di luar nonton tv sendiri sama mainan hape,"

    "Icha sama sapa,"

    Astagfirulloh.

    Betapa dunia yang memang sedang dalam genggamanku ini membuat lupa pada dunia di rumah. Pekerjaanku yang menuntut agar terus up date informasi nyatanya membelenggu kebahagian anakku.

    Padahal, jumat pekan lalu, saya habis berbagi dengan anak-anak kuliah di D3 Bahasa Inggris agar menyingkirkan smartphone saat sedang duduk bersama. Maka, kali ini pun aku khilaf.

    Baiklah,  aku pun beranjak. Kusesali dan kuminta maaf kepada anakku Raisa. Saat tulisan ini kubuat, aku pun berjanji akan terus ngopeni anakku dengan meninggalkan smartphone saat sedang berdua.

    Selang teriakan itu, hujan besar pun tiba. Aku yang ingin membahagiakan anakku menawarkan untuk hujan-hujanan bareng mumpung ibunya sedang tidur. Namun, ajakan direject.
   
    "Emoh, nanti sakit,"

    Baiklah, aku pun manyun sembari meyakinkan diri bahwa saat orang tua bersama anaknya yang masih kecil, maka sudah kewajiban orang tua itu bertingkah layaknya anak kecil. Masuk ke dunianya. Dunia yang penuh dengan mainan yang tentunya jika dikerjakan oleh orang tua adalah hal yang membosankan. Tapi itu harus dilakukan.

    Hanya saja, ketika ada sesuatu hal (permainan) yang tidak pas, baru sisi orang tuanya muncul dengan ngobrol bareng.

    Lalu, bertingkah kembali menjadi seorang anak kecil dan masuk ke dunianya itu sebenarnya sangat melelahkan. Seratus persen melelahkan. Kita yang sudah bisa berpikir, kembali menjadi orang yang selevel dengan anak untuk menemani.

    Maka, ketika seorang ibu di tengah kesibukannya mampu menjadi seorang ibu, teman bagi anaknya, sahabat bermain hingga berjam-jam, bahkan seharian adalah sebuah pekerjaan yang luar biasa. Seorang ibu yang kelak hanya akan meminta agar ketika beranjak dewasa mau mendoakan ibunya di liang lahat.

    Pada akhir tulisan ini, aku hanya ingin menyanjung istriku sepenuh hati. Terimakasih sudah menjadi seorang ibu bagi anak kita. Terlelaplah tidur karena aku sering abai atas kelelahanmu dimana telah menjalankan kewajibanmu sebagai seorang hamba, istri, hingga sahabat anakku.

    Eit, tapi, jangan lupa, jelang Magrib, gantian ibu menemani Raisa kembali ya. Hehe..
*Oh ya bu, tadi pas ibu tidur, aku dan Raisa akhirnya hujan-hujanan bareng. Raisa akhirnya minta hujan-hujan juga.  

Tulisanku ini, kudedikasikan untuk istriku dan para bapak di jagat bumi ini. sekian.

akhirnya hujan hujanan

Komentar