Menuju Kehancuran. Bangunan sejak 1818 ini sudah dimasukkan dalam daftar Registrasi sebagai Benda Diduga Cagar Budaya Tak Bergerak. |
Aku mengenalnya saat bersama-sama kuliah di D3 Bahasa Inggris Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Aku angkatan (masuk kuliah) tahun 2003, sedangkan orang yang kukenal yang pada paragraf kemudian akan kusebut sebagai istriku adalah angkatan (masuk kuliah) tahun 2004. (#cie cie.. malu inyonge).
Kami pacaran hingga rentang waktu lima tahun. Bukan perkara mudah menjalani masa itu dengan kesibukan pekerjaan yang tak kenal waktu. Selama rentangan itu pula aku sering bermain ke rumah pacarku. Nama pacarku (sebelum kesebut sebagai nyonya) adalah Anggit Fitriani. Rumahnya ada di Desa Kalibagor, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas.
Awal mula aku berani main ke rumah dia setelah aku menembak agar mau menjadi teman berbagi. Edisi penembakan pun hanya lewat suara. Tepatnya, lewat telepon rumah. Tak ada amunisi penembakan seperti layaknya bunga, kembang kamboja (ups.. maksudnya kembang mawar atau melati deh).
Aku masih teringat saat menembak lewat warung telekomunikasi (wartel) di pusat kota kecamatan Patikraja sekitar pukul 19.30-20.00, pada 10 Oktober 2005. Oh ya, tiba-tiba aku teringat, wartel itu bernama Musyawaroh. Wartel di Patikraja yang begitu terkenalnya. Entah saat ini masih ada atau enggak? (kayaknya ilang, lha hape sudah dimana-mana)
Saat itu, hanya ada suara ; Dik, gelem dadi pacarku ra ya? (#Duh, nggak gentle banget si).
Biarin, yang penting kan menerima aku apa adanya.
"Ehmhhh, gimana yah, iya deh," jawabnya yang kuyakin cewek yang kemudian jadi istriku ini sok jual mahal saat ditembak, tapi hatinya bilang asyik, hingga akhirnya terucap kata (bahagia); iya deh.
Lalu, setiap kali main ke rumah pacarku, aku pasti melintas di jalan besar Sokaraja-Banyumas dimana berdiri kokoh sebuah pabrik tua yang besar. Pabrik yang gulita di malam hari. Pabrik yang atapnya sudah rusak. Pabrik yang halamannya penuh dengan semak belukar.
Bahkan, orang Kalibagor juga menyebut sebagai pabrik yang angker. Nama pabriknya adalah PG Kalibagor. Kepanjangan dari Pabrik Gula Kalibagor.
sudah tumpul karena tak memiliki cerobong asap lagi |
Lagi-lagi, selama rentang pacaran, aku tak menghiraukan pabrik itu. Biarlah pabrik yang katanya peninggalan jaman kolonial itu berdiri kokoh tanpa dihuni. Pabrik yang disebut-sebut memiliki gaya arsitektur sangat indah pada zamannya itu pun tak menghiraukan. Nyatanya, selama pacaran, aku tak pernah menelusuri bagian-bagian pabrik itu. Takut.
bangunan yang belum dibongkar masih memiliki kesan angker |
Sejatinya, hati kecilku ingin juga mendokumentasikan PG Kalibagor. Namun apa daya, tak ada teman menemani. Lagian, rumput dan semak belukar juga sangat tinggi. Bisa-bisa, ular berbisa yang mematokku. Sudah-sudah, lewati saja jalan itu tanpa menoleh lagi. Biarkan PG Kalibagor yang juga penuh mistis ini berdiri kokoh.
akhirnya aku bisa masuk dan memotret prosesi kehancuran. |
Sampai akhirnya, setelah hampir lima tahun lamanya hidup dengan istriku di Kalibagor, aku benar-benar penasaran. Sayang, rasa penasaran ini baru muncul saat santer terdengar Pabrik Kalibagor hendak dijadikan gudang. Dan selama akhir bulan maret hingga wal April ini, aktivitas truk keluar masuk, dan beberapa pekerja nampak sangat meningkat di lokasi PG Kalibagor.
Hingga, pada 2 April 2015, aku pun memberanikan diri. Aku meminta izin untuk memotret aktivitas pembongkaran. Satu hal, yang pasti, para pekerja menegaskan bahwa kalau wartawan yang memotret maka tidak akan dipebolehkan.
cerobong asap yang tadinya lantangberdirikini tinggal berserakan tak berdaya |
Maka, saat aku memotret, barulah hatiku berkecamuk.
Dari lubang-lubang di cerobong, kerusakan Pabrik Gula Kalibagor terlihat jelas |
Lagi-lagi saat memotret bekas lubang cerobong asap ini, aku hanya menyesek dada. Begitu kuatnya cerobong ini, sampai-sampai untuk membongkar cerobong pun seperti membuat sumur karena kedalaman penanaman cerobong yang begitu dalam.
sumur cerobong |
batu bata yang terlihat sangat berkilau |
batu bata yang terlihat sangat berkilau |
Selanjutnya, bangunan yang super besar ini pun tampak tak berdaya. Besi-besi atap seng melengkung dan dilengkungkan untuk kemudian diputus. Dikotak-kotak dan diangkut dengan truk. Semua tinggal sisa dan kenangan.
besi yang melengkung dan dilengkungkan |
cerobong ini terkapar tak berdaya |
rusak segalanya |
yang kokoh berdiri (cerobong), kini memelas meski cuma dilihat |
berantakan |
alat pembongkaran |
Salam Cagar Budaya, semoga masih bisa dipertahankan!
Komentar