Raisa, Kartininya Ibu Anggit (memaknai hari kartini 2015)

Lupakan Pikiran Versi Orang Tua, Ikuti Dunia Anak

Pada tulisan kali ini, judul diatas sepertinya harus diterapkan oleh setiap orang tua?

Kenapa? Karena orang tua seringkali berpikir bahwa aktivitas anak dengan mengikuti karnaval, baris, dan lain sebagainya dengan rute yang panjang adalah hal yang berat.



Seperti yang telah dilakoni Aqilla Firsta Raisa, buah hatiku seminggu lalu. Anakkku yang baru berusia tiga tahun ini ikut pawai karnaval dalam memperingati hari Kartini yang digelar TK Diponegoro 110, Purwokerto Kidul, Kecamatan Purwokerto Selatan.
    
Aku sendiri yang melepas anakku saat berangkat sekolah melihat pakaian Kartini, lengkap dengan sanggul yang berat. Akupun hanya tersenyum kecut. Belum lagi, rok kebaya yang bakalan menghambat anak bertingkah berbagai macam.

Nyatanya, saat anakku berangkat, dia tetap tersenyum kala berjabat tangan sebagai ungkapan hormat dan tanda berpisah sementara. Sungguh senyumnya adalah senyum ceria.


***

Pun demikian yang terjadi dengan istriku, Anggit Fitriani. Sejak pengumuman agar anak-anak mengikuti karnaval dengan menggunakan baju kebaya atau adat, istriku langsung saja meminta agar tidak berangkat. Pengumumannya sendiri dikasih pada hari Jumat. Sehingga, istriku mendorong agar tidak berangkat pada hari karnaval, tepatnya sehari selanjutnya, Sabtu.

Tapi, apa mau dikata, Raisa yang sejak awal terus mengingat permintaan Bu Guru agar ikut, justru rewel di malam hari. Rewel karena terus mendengar permintaan agar tidak ikut.

Hingga akhirnya, istriku pun sadar bahwa itu adalah keinginan alami anak untuk mencoba dunia baru.

"Iya, besok ikut. Tapi sekarang tidur gasik, dan esok bangun gasik, karena mau di rias biar kayak Kartini," begitu nasehat yang terucap di malam harinya.

Benar saja, keinginan yang begitu tinggi itu membuat Raisa mampu tidur gasik. Padahal, pada hari biasa, Raisa suka tidur malam dan lebih suka untuk lek-lekan (begadang) sambil ngobrol dengan ibunya.

Aku yang biasa pulang malam sekitar pukul 01.00 dini hari pun hanya bisa melihat Raisa tidur pulas. Anak mbarep-ku yang biasanya bangun saat aku pulang tak juga membuka mata. Ekh, sekalinya kuganggu hingga membuka mata, Raisa cuma bilang,

"Ayah, Icha mau bubu. Mau bangun gasik lah," katanya sedikit teriak.

"Ya sudah, bubu saja," kataku.

"Ayah bubu di luar lah, Icha ndak bisa bubu kalaiu ayah di kamar. Sana bubu di luar," tambahnya.

"Hehe," timpal istriku yang saban saya pulang kerja, selalu terbangun.

***

Esoknya, Raisa bangun gasik sekali. Bahkan, prosesi mandi dan pakai baju yang biasanya membutuhkan waktu lama, sekarang cepat. Istriku pun punya waktu luang mengantar ke riasan sebelum dirinya juga berangkat kerja.

Usai di rias, Raisa pulang ke rumah dulu. Lalu menunggu uti (mbah putri) untuk bersama-sama berngkat dengan istriku. Sungguh tiada beban dia memakai sanggul. Sungguh hatinya gembira. Yang berbeda, hanyalah senyumnya. Senyumnya kaku.

"Nanti kalau ketawa, lipstike ilang ya bu," ucapnya.

Ger, ger, alias pada ketawa akibat celoteh anakku ini.


***

Selepas itu, aku pun tak tahu karnavalnya seperti apa. Di sekolah seperti apa. Barisnya dimana. Aku melewatkan momen ini karena memang harus tidur. Pekerjaan malam, membuatku kehilangan segala aktivitas di pagi hari. Bila kupaksa, maka badan ini yang lama-kelamaan bisa kurang enak.

Sekitar pukul 13.00, aku menjemput Raisa. Sungguh, tak ada kesedihan dalam dirinya. Justru, dia sangat senang. Bangga. Antusias sekali dengan segala aktivitas karnavalnya. Tak ada yang terlewatkan dari ceritanya.

Bahkan, tak ada rasa lelah. Semua seperti di pagi hari. Sungguh begitu ceria. Pun saat sampai di rumah uti, cerita karnaval meluncur deras ke arah tante Shofi, putri dari bu lik Raisa yang juga masih duduk di bangku SD. tante Shofi yang juga menjadi teman Raisa di rumah.


***

Di malam harinya, Raisa masih beraktivitas tinggi setelah karnaval. Keluarga besar yang main ke Alun-alun Purwokerto masih disuguh dengan polah tingkah Raisa yang tidak mau diam. benar-benar puas. Rasa ngantuk baru datang ke Raisa pada malam hari usai di rumah. Dia pun tertidur pulas.


***

Saat Raisa tidur pulas itulah, aku dan istriku introspeksi. Begitulah dunia anak dan dunia orang tua.

Saat orang tua sudah mengetahui bahwa karnaval akan dijalani dengan berpanas ria, jalan jauh dengan pakaian kebaya, maka orang tua memiliki sifat alami agar anak tidak seperti itu. Nyatanya, dalam intropeksi itu, kami berdua salah. Salah karena membatasi anak mencoba hal yang baru.

Lalu, bahwa anak-anak ingin mencoba sesuatu yang baru, adalah sesuatu hal yang pasti. Anak-anak, terutama balita, selalu ingin berkembang dengan kemampuan yang dimiliki. Apapun itu. Mereka tak tahu resiko. Mereka hanya ingin mencoba.

Saat mencoba nanti, saat merasa lelah, saat merasa tak mampu, mereka juga sudah punya senjata terbaik. Merengek.

Di saat inilah (merengek), tinggal bagaimana peran orang tua membimbing.

So, di tulisan ini, kami sadar, buanglah pikiran orang tua saat anak-anak mencoba hal baru. Biarkan bebas berimajinasi.  Biarkan bebas sebebas-bebasnya.


***
hahaha.. ayoo mlaku-mlaku... kamu bisa nak

paling kecillllll

di jalan raya

hefttt... itu idunge nyureng nyureng cha,...


Terakhir, catatanku ini bisa saja tak penting karena semua orang tua sudah paham untuk membebaskan anak berekpresi. Catatan ini hanya sebagai pengingat aku dan istriku agar mampu menjadi orang tua yang mampu membimbing anak. Bukan menguasai anak.

Terimakasih Istriku yang sudah sabar melayani Raisa, Uti yang sudah mendampingi Raisa ikut jalan-jalan.  #Ekh, aku malah mung bisa nulis tok. Wkaka.. Haduuhhhh.. hehee  ..

Aku tahu aktivitas Raisa dari temanku. Namanya Khamdani. Rumahnya tak jauh dari TK tempat Raisa belajar. Jadi, dari dialah aku tahu ekspresi Raisa. Makasih ya bro ata sfoto-fotonya..

Ini ceritaku, mana ceritamu?

Komentar