Gaes, untuk tulisan episode ini, aku mau berbagai cerita soal tantangan adrenalin menuju Curug Carang dan Curug Gagak yang lokasinya masih sekomplek (#kayak perumahan saja, wkwk) di aliran sungai di Desa Kemutug Kidul, Kecamatan Baturraden. Pokoknya, rute ini bener-bener bikin gemeteran sepanjang hari. Gemeteran karena nge-gas pol hormon seks. Ups, maaf gaes, hormon adrenalin maksudku.
Bahkan, usai adrenalinku tergopoh-gopoh melewati rute tebing pertama, aku masih harus lompat ke sana, lompat ke mari, lompat ke sini, diantara batu-batu besar yang menjulang tinggi di hulu sungai dibawah Curug Carang dan Curug Gagak ini. Persis kayak Ninja Hatori gaes. Itu tuh, Ninja yang mukanya ditutup. (#lha, ninja kan memang ditutup ya. Yang baca ya ngangguk aja nih.. haha)
***
Oke, sebelum aku melakukan perjalanan selayaknya Ninja Hatori, aku terlebih dulu parkir motor Revo kesayanganku di rumah Si Roys. Itu tuh, rumah besar yang ada di Kemutug Kidul, Kecamatan Baturraden. Siapapun yang mau ke Desa Karangsalam, pasti akan melihat rumah besar Si Roys sebelum pertigaan Karangsalam. Nah, kita kita masuk dari sisi pintu paling kanan. Lalu lewat ke jalan setapak. Aku dan kawanku (bukan kawanku majalah broo..) langsung parkir dan menebus belantara sawah dan areal ladang.
Sebenarnya, ini bukan rute yang dituduhkan (haduh, kata yang pas adalah dianjurkan) oleh temanku. Temanku yang bernama Yayan yang jadi founder #instapurwokerto itu menyarankan masuk melalui rute sebelum perempatan lapangan Kemutug Kidul.
Tapi, versi temanku yang bernama Amin Bellet, lebih mudah melalui sisi kanan rumah Si Roys. Jadilah kami mencoba rute baru itu. Alhasil, tiap ketemu petani ladang, kami pun selalu bertanya. Sebab, kalau tidak bertanya, bisa-bisa nyasar ke negeri antah berantah yang penghuninya juga belum tentu suka dengan orang asing. #Uhuk.. Uhuk.. sudah-sudah.
***
Inilah rute adrenalinku yang mendadak bergairah.
Oke, dari rumah si Roys, kami menyusuri jalan setapak yang sudah ada. Bahkan, di area kiri dan kanan, terbentanglah pemukiman sawah dan ladang. Kebanyakan, para pak Tani menanam tumbuhan pakis. Tumbuhan yang bisa dimakan setelah dimasak. #Kalau langsung dimakan, itu namanya wedus. Perjalanan sekitar 15 menit.
Yang susah menuju ke jalan Curug Carang ini adalah tidak ada penanda. Perjalanan sekitar 15 menit itu harus disudahi dengan belok kiri. Penanda belok kiri itu hanya pagar betis lahan (maksudnya itu tumbuhan semak belukar semacam tretean). Kalau sudah menemukan tretean, hendaklah belok kiri. Ikuti lagi jalan setapaknya.
Sekitar lima menit, maka sampailah pada sebuah kebun pohon bambu. Di sinilah, adrenalinku langsung melonjak tinggi. Kalau ukuran tinggi adrenalin itu dinilai 100 meter. Maka adrenalinku melonjak sampai 95 meter. Tinggal lima meter mencapai puncak. Gemeteran saya. Penyebabnya, trackingnya begitu dahsyat. Bikin keringat meluncur deras dari tubuh. Bahkan, saya sempat ingin tidak melewati rute di kebon bambu ini. Saya menyusuri sekitar lokasi. Bolak-balik. Tapi, tetap tidak ada jalan.
Hanya itu satu-satunya rute yang harus dilalui! Rute yang berwujud tebing setinggi 20 meter! Kemiringan 85 derajat. Mendekati tegak lurus! Perjalanan kami, tanpa alat sama sekalipun! Lima meter turunan pertama, kondisi tebingnya adalah tanah dengan kegemburan yang empuk! Lalu, 10 meter selanjutnya adalah cadas bebatuan hulu sungai! Hanya ada cerukan-cerukan kecil sebagai tapak kaki di tebing cadas itu! Lima meter terakhir, juga tebing tanah.
Klop ngerinya! Saya pun cuma muter-muter diatas rute tebing itu lima menit. Amin Bellet dan Lij Imam Nurokhman yang mencoba dan mensurvei rute itu meyakinkan bisa!
Batinku,
"Bisa digilmu. Bobot awakku kie 93 Kg. Pindone rika pada," jawabku.
"Jajal bae. Bisa. Alon-alon. Wis gutul ngeneh," kata mereka berdua.
Aku pun membatin. Hemhh, saatnya memanggil Doraemon inih. Pinjem baling-baling bambu. Langsung bisa dibawah air terjun. Tapi, lamunan sepersekian detik itu buyar oleh Novi Arifin. #Asemmm
"Ayo mas, nek wani ya aja ragu. nek ragu ya aja wani,"
Akhirnya, aku memutuskan berani. Tapi, syaratnya tas dibawa temenku. Dua-duanya. Sebab, aku membawa tas bekal dan juga tas kamera. Oke. Selesai.
***
Maka, aku pun menapak kakiku. Turun di kecuraman 85 derajat! Turun ke tebing yang tegak lurus! Lima meter pertama oke! 10 meter kedua ini yang selanjutnya bikin tambah deg-degan! Aku berhenti di tengah. Tak lain minta arahan tapakan kaki selanjutnya. Ini karena badanku yang sudah melebar (alias gede, gembul, tambun, gendut, dan laine lah.. wkakak) sehingga harus hati-hati!
Temanku Amin Bellet dan Lij Imam Nurokhman menuntunku. Satu kaki mulai kuturunkan. Cling. Tap-tap. Bener-bener kayak Ninja Hatori. 10 meter kedua yang merupakan batuan cadas selesai. Maka, tinggal lima meter ketiga yang medannya, aku kira sudah agak enakan meski masih tegak lurus.
Mak, kalau ada yang mengajak jalan-jalan lagi ke Curug Carang, aku pasti akan meminta untuk membawa tali webing atau tali jiwa, harner, berikut karmentel. So, ini demia safety seluruh personil. Wakaka. Untuk yang nekat seperti saya kemarin, cukup sekali saja!
***
Usai dari tebing itu, kakiku (bukan ninimu yak.. wakaka), langsung masuk ke aliran hulu sungai Curug Carang. Medannya tak enak untuk jalan. Masih harus melompat dari sisi batu ke batu lain. Batu yang wujudnya segede gaban itu sudha dipenuhi dengan lumut yang menghijau.
Tak itu saja, untuk menyeberang juga harus melewati cerukan-cerukan lempengan cadas khas bebetuan khas vulkanik Gunung Slamet. Selang lima menit, sampailah di Curug Carang. Mata langsung geleng-geleng. #ekh kepala koh. Luar biasa ciptaan Tuhan.
Sebuah air terjun setinggi hampir 40 meter mengalir deras dari sisi kanan Sungai. Air terjun yang seolah turun dari angkasa raya. Air terjun itu membuat rangkaian dua mata air. Pertama sekitar 30 meter. Kedua sekitar 10 meter. Lebih hebat lagi adalah tetumbuhan di sekitar lokasi air terjun yang begitu hijau memanjakan mata. Maka, saat berdiri di depan air terjun Curug Carang ini, manusia benar-benar terlihat kecil. Cek saja foto kami. Sekitar dua jam kami menikmati keindahan Curug Carang Desa, Desa Kemutug Kidul, Kecamatan Baturraden.
Selepas puas, kami langsung menyusuri sungai. Dari situ, katanya ada Curug Gagak yang debit airnya super besar. Benar saja, perjalanan susur sungai itu sangat menarik. Mulai dari lompat batu besar ke batu besar lainnya. Menyusuri ketenangan air ditambah dengan akar-akar pohon yang begitu lebat.
Sampai harus ada edisi saling menolong dengan menarik tangan untuk menuju ke lokasi. Di sinilah, di edisi tolong menolong dengan mengangkat tangan teman yang kami anggap sebagai foto terbaiknya. Mereka menangangkat tangan teman berlatar belakang Curug Gagak. Foto lain yang ada di kami, ya sekedar foto perjalanan dan foto selfie.
Sekitar lima menit kami sampai di Curug Gagak. Wow.. Luar Biasa! Debit air begitu deras. Bahkan, ombak juga saling bekerjaran di centernya Curug Gagak. Kami tak berani berenang di situ. Terlalu berisiko! Lingkaran curug yang menghijau dengan dinding tebis cadas yang menhitam legam menjadi warna yang memanjakan mata kami. Selepas mengambil foto, kami pun kembali.
***
Saat kembali menyusuri sungai menuju jalan pulang, tiba-tiba teringat rute tebing pertama itu. Gemeteran saya di perjalanan. Namun, tekad ini harus saya bulatkan. #Kalau tidak, bisa-bisa saya nginep di Curug Carang ini. Wkakaka.
Maka, saat mata memandang tebing yang hampir tegak lurus dengan sudut 85 derajat ini, saya mantap melewatinya dengan merangkak. Kaki dan tangan langsung merayap satu persatu. Dari cerukan tanah, hingga cerukan cadas. Tak mampu saya berdiri tegak di area tebing ini. Tapi, di sini, aku menyadari bahwa naik itu lebih mudah ketimbang turun! Maka, aku pun lega saat sudah berada di kebun bambu lagi.
***
Kami pun lanjut pulang. Hari sudah siang. Kami kembali menuju parkiran rumah Si Roys. Eitsss.. Sebentar. Di rumah Si Roys ini, pemandangannya juga bagus. Kami menyempatkan foto-foto sebentar. Hasilnya.. Oke guys. Ini Ceritaku. Mana Ceritamu.
Komentar