panorama malam hari di bukit Watu Meja, Desa Tumiyang Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah Indonesia (#watumeja) |
"Ya pak," jawab lima remaja tanggung yang kesemuanya itu perempuan.
"Hah, pak," timpal uje lagi.
"hahahahaha %&*%&*^*," kami pun tertawa lepas.
****
Begitulah, canda dan tawa yang begitu bebas keluar dari mulut kami (Saya, Uje_uje, Novi Arifin dan Isro Ali). Sungguh menjadi tawa yang kompak meski tanpa dikomando. Tawa yang benar-benar menarik urat saraf di pipi sampai kaku. Terpingkal-pingkal sesaat.
Pada akhirnya, tawa ini membuat kami (sedikit) lemas karena tidak tidur sama sekali setelah semalaman menginap di Bukit Watu Meja, Desa Tumiyang, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia, Sabtu 29 Agustus 2015 pukul 07.30.
Tentu, tawa lebar yang tiba-tiba muncul itu dikarenakan kami sangat-sangat canggung dipanggil pak! (Wkwkw). Canggung sekaligus merasa tua. Akh, kalau dibanding mereka (berlima) yang memanggil pak, jelas kami memang lebih tua. Mereka sekitaran anak SMP kelas 3.
Tapi, tidak! Kami jelas tidak terpaut jauh. haha..
Hemh, kalau saya dipanggil pak si memang nggak papa. Pantas malah. Memang akan lebih afdol kalau mas saja (hihi.. saya yang sudah punya buntut ini masih tak sadar diri saat menulis).
Lha, kalau teman saya, masing-masing uje, Novi, dan Ali itu yang harus intropeksi. Sadar diri dong. Muka muda, dipanggil pak. Artinya, tetap saja, muka teman saya adalah ... (tulis di kolom komentar. ha)
****
Emmmmmhh, sebelum bertemu mereka, kami memang sudah terlebih dahulu sampai di bukit Watu Meja. Perjalanan dimulai dari kantor kami (Radar Banyumas) pukul 02.00 dini hari. Perjalanan geblek! Berangkat kok dini hari! Baru selesai kerja pula! Bukannya lelah, malah mencari kelelahan baru!
Tapi itulah saya. Inilah saya yang nekat berangkat karena ada peluang kecil. Peluang yang kemudian menghasut diri untuk camping karena istri sedang di rumah bapak/ibu. Kapan lagi kalau tidak memanfaatkan peluang seperti ini hayo? Maka, aku pun mengajak Uje, Novi dan Ali. Kebetulan, ketiganya juga punya hobi sama. Naik gunung, camping, ngopi-ngopi, atau sekedar melihat bintang di langit yang selalu gagal untuk dihitung.
***
"Ada yang tau arahnya,"
"Nggak,"
"Sudah, berangkat saja,"
****
Aku yang asli banyumas memang sudah tahu ancer-ancernya. Pasar Patikraja ke Seletan - Lanjut Terus - Balai Desa Tumiyang - Lurus Lagi - Kiri Jalan ada papan penunjuk Watu Meja - Masuk.
"Tapi, jalan masuk hutannya nggak tahu. 15 Menit katanya,"
"Halah, sudah, berangkat saja,"
***
ali di titik awal perjalanan yang akhirnya nyasar membikin jalan setapak sendiri |
"Ya sudah parkir saja, tinggal jalan,"
***
Benar saja, saat kaki mulai melangkah, gelap terasa. Kanan kiri kebun bambu. Tiba-tiba ada papan penunjuk. Arah kanan jalur biasa. Berarti, kalau lurus, jalur tak biasa. Kami lihat memang sangat "ndengklak". Aduh, bahasa "ndengklak" ini apa kalau diterjemahkan. Intinya, ya jalur yang sangat naik.
Kami pilih ke kanan. Lalu, ada pertigaan lagi. Kami ambil kiri. Ternyata nyasar! Huh, dasar Ali yang jadi tour guide gagal ini. Akibatnya, kami benar-benar menerabas ladang penduduk. Lewat jalur yang benar-benar naik. Yang semestinya 15 menit. Akhirnya menjadi sekitar 45 menit.
***
"Ibaratnya, tiada kemenangan kalau tanpa perjuangan," bela Uje atas kesalahan jalur yang dipilih Ali saat dipuncak.
"Batin saya, dengkulmu ya,"
Lha jalur yang enak juga ada. Huh. Tapi, memang iya sie. Hahaha
ketika perjuangan menuju puncak diawali dengan kesasar |
***
Oke, saat dipuncak Bukit Watu Meja, kami langsung melihat indahnya pemandangan yang luar biasa. Melihat indahnya lampu kota Purwokerto, sekaligus lampu temeram dari pencahayaan rumah penduduk di lereng selatan Gunung Slamet. Sungguh sangat indah. Berpadu dengan aliran Sungai Serayu yang membentang di lima kabupaten, maka lokasi ini menjadi sangat romantis. (padahal, teman saya bandot semua. (wkwkw)
Belum lagi, keindahan jalur kereta api yang turut membelah Sungai Serayu. Saat kereta melintas, lampu kereta menjadi pemandangan eksotik. Ditambah, dengan berlimpahnya bintang di langit. Sungguh menjadi lokasi yang klop.
Kami memang tidak membawa tenda. Untuk membunuh waktu, dan memang sudah menjadi kebiasaan, kami membuat perapian, sekaligus masak mie, dan kopi. Sambil itu berlangsung, kami pun potrat sini, potret sana.
namanya Uje Hartono, masih mencari wanita |
yang paling depan bernama novi arifin, jago nailart |
***
Pagi pun menjalang. Kami yang belum tidur pun masih bisa melihat indahnya bukit Watu Meja di pagi hari. Tampak puncak Gunung Slamet yang masih malu-malu. Apalagi diiringi dengan lagu klasik yang dari musik box yang saya bawa. Menjadi diri ini hanya ingin menenggak teh dan kopi sambil bersyukur atas ciptaan Tuhan.
Akh, sudah. Tinggal lihat saja foto-fotonya yak. Yang jelas, lokasi ini mau dikelola dengan baik.
"Biasanya, pengunjung sampai maghrib mas," ungkap dia lagi.
So, saat saya berada di puncak bukit ini, saya sungguh merasa sangat hits. Kekinian.
mantap abis dan kekinian |
duduk di watu meja |
pemadangan rel kereta api |
Komentar