Menuai Kesabaran Menuju Eksotisme Curug Penganten, Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden

Perjalanan menuju Curug Penganten


Selalu saja ada hal yang istimewa pada tiap rangkaian perjalanan kisah hidup. Sama halnya, kisah istimewa yang saya dapat saat perjalanan menuju Curug Pengantin, Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia, Sabtu 1 Agustus 2015 lalu.



Kisah ini tentang kesabaran. Kesabaran yang pada ujungnya hanya bisa dirasakan diri sendiri. Tentu, sabar di kisah ini akan berujung pada rasa kepuasan. Terutama, saya puas dan nyatanya masih mampu untuk kembali sabar!

***

Perjalanan menuju Curug Penganten mengingatkan saya pada kisah pendakian massal yang diadakan organisasi saya pada kurun waktu tahun 2006 lalu.

Saat itu, kaki yang baru melangkah di salah satu spot pos 1 jalur pendakian Gunung Slamet via Jalur Baturraden, harus terhenti. Seingat saya, 11 peserta yang masih segar bugar dipaksa loyo akibat satu peserta pendakian massal yang mogok total. Mogok dengan cara duduk di setapak semak belukar.  Tak mau melangkah lagi.

***

Huh! (bayangkan saya sambil menyeka keringat di dahi, wakaka), sungguh bete. Baru kali ini pernah mengalami. Memang, selama ini saya selalu bersama dengan satu anggota organisasi di Greencorps, maupun teman lain. Sehingga, hal-hal yang seperti ini, tidak pernah kurasakan, Bahkan tak terbayangkan.

Satu orang yang mogok itu bernama Ef-Er (nama samaran hehe). Orang batak. Asli medan. Sungguh keras kepala orangnya. Pokoknya dia tetap berhenti. Nggak lanjut! TITIK!

Celakanya, itu dilakukan sambil ngedoprok (aduh, maksudnya duduk tak bergerak). Dia memang pantas takut membayangkan jauhnya perjalanan menuju Puncak Slamet via Baturraden. Dia tanpa persiapan fisik. Hanya keinginan untuk naik ke puncak. 

***

Pantas takut karena estimasi perjalanan menuju Puncak Gunung Slamet adalah berjalan kaki berangkat pada hari Jumat pukul 15.00 lalu camp pukul 24.00. Esoknya, Sabtu, start kembali pukul 07.00 dan camp lagi pukul 17.00. Itu baru di pelawangan Gunung Slamet via Baturraden. Esoknya lagi, Minggu, baru start lagi pukul 07.00 dan puncak pukul 10.00. Tiga hari perjalanan. Tak bisa ditawar!

Maka, Ef-Er yang mogok saat baru dua jam melangkah kaki (Jumat sekitar pukul 17.00) bikin gedek-gedek kepala. Mau diapakan ini?

***

Ditinggal sendiri, jelas ini merusak tim. Tidak mungkin! Alternatif lain, tim dibagi dua; satu tim tetap lanjut, dan satu tim menemani Ef-Er untuk pulang esoknya. Tapi ini menjadi drama panjang.

Akh, biarkan saja dulu. Kami ajak dia bersantai sambil memasak mie dan air. Kami anggap ini bagian dari istirahat dalam perjalanan. Satu jam berlalu. Teh dan kopi pun sudah dia nikmati.

Tapi, keputusan dia tetap sama; minta berhenti! Ditinggal pun tak masalah. Dia akan lebih memilih camp sendirian, dan pulang di esok harinya.

***

Melihat situasi ini, saya, teman saya yang bernama; Kasur, Anggit BL, dan Edi Pelus dan lainnya kemudian memutuskan untuk membawa 11 peserta naik sekitar setengah jam perjalanan. Sementara Ef-Er ditinggal hanya dengan dua orang panitia. Tentu, pilihan ini agar 11 peserta lain tak ngedrop melihat tingkah laku Ef-Er yang tak karuan itu.

Setelah dipisah, panitia pun membujuk Ef-Er Bergantian. Saya, kasur, Anggit BL, edi Pelus, dan yang lainnya (yakin, sapa bae ya, aku klalen koh). Tapi, tetap tak berhasil.

Cara kasar sedikit dilakukan. Sudah kepalang tanggung ditengah belantara. Turun mengantar Ef-er jelas tidak mungkin! Dia pun kami tantang. Adu fisik. Kalau menang, kami antar turun. Kalau kalah , dia lanjut. Golok pun mulai diacungkan. Golok digebukan ke pohon-pohon di sekitar dia duduk. (panitia sudah berempug dan meyakini bahwa ini hanya sebagai ancaman).

Pilihan cara sedikit kasar didasarkan pada pertimbangan bahwa ada keyakinan panitia dia bisa sampai puncak. Baik dari segi fisik, maupun psikologi. Dia mogok lantaran kaget fisik saja karena tak pernah menempuh perjalanan yang terus-terus naik berbukit.

***

Dia mulai menunjukan peningkatan atas ancaman yang diberikan. Dia memang takut. Tapi, ada sinar harapan dimatanya untuk lanjut. Dia cerita akan kendala. Kendalanya hanya satu : Kaget atas perjalanan ini. Namun, dia mulai bersemangat.

Mungkin, saat tulisan ini dibuat, saya yakin mogoknya itu karena faktor ketidakmampuan psikologis sesaat. Saat peserta dipisah, dia akan mudah curhat hanya dengan satu atau dua panitia. Berbeda saat dia masih beserta dengan 11 peserta lain. 

Lalu, saat bicara hati-ke hati (meski saya masih memegang golok), saat dibisiki bahwa kamu orang Medan! lalu, pamit ke orang tua yang juga asli medan untuk mendaki Gunung Slamet, maka  tuntaskanlah. Malu saat menyerah.

***

Seketika, dia menjawab lanjut. Kami minta diulang jawaban dengan lantang. Lanjut!!!!! keras sekali ngomongnya. Kamu pikir, kami budeg. Hahaha

Plong hati kami. Kami yakin dia sanggup. Entah apapun kendalanya. Sekedar catatan saja, bobot dia saat itu mendekati sekitar 90 kg. Sungguh, dia menjadi seorang pendaki yang paling gemuk saat itu.

Kisah singkatnya, dia akhirnya berdiri di puncak gunung Slamet. Pulang via jalur Bambangan. Pulangnya juga memecah rekor. Turun dari puncak sekitar pukul 11.00. Sampai basecamp Bambangan pukul 24.00. Wow, hampir dua belas jam waktu pulang.

Hebatnya, Ef-Er tak menyerah meski benar-benar turun dengan sandaran pantat dari puncak ke basecamp!

***

Seminggu kemudian, kami ke rumah Ef-Er. Betapa bangganya dia menunjuk foto dirinya di Puncak Gunung Slamet kepada orang tuanya. Pun demikian, orang tuanya yang asli Medan itu benar-benar ramah menyambut kami.

"Terimakasih atas perjuangan bersama anakku,"

***

Haha.. setelah serius paragrap demi paragrap diatas malah saya tertawa.

Lha mana tulisan Curug Pengantin? Tentu tidak sedahsyat itu. Hanya saja, saat menemani dua ibu-ibu menuju Curug Penganten, tiap 10 langkah berhenti. Ambil nafas. Tarik lagi. 10 langkah  kemudian berjalan lagi. Berhenti lagi.

Perjalanan dari Dusun Kalipagu, yang semestinya bisa ditempuh satu jam, akhirnya dilalui dalam waktu 2,5 jam. Akh, itu cuman bikin dengkul saya loyo kok. Tapi, hebat. Saya salut sama dua ibu--ibu itu. Saya yakin usia diatas sekitar 40 tahun. Tapi, masih mau berpetualangan.

Saat perjalanan menuju Curug pengantin, kisah saya di tahun 2006 lalu pun saya ceritakan ke dua ibu-ibu itu. Yang bikin happy saat ke Curug pengantin itu karena mamake Dusun Kalipagu, ikut juga mendampingi mereka. Sungguh, mamake menjadi orang yang sangat sabar!

***

Begitulah hidup. Tak selamanya mulus. Ada kerikil yang harus diperhalus agar semuanya Indah  dilalui bersama. Untuk yang merasa menjadi tokoh dalam kisah ini, kamu memang Hebat! Terimakasih atas cerita jiwa korsa ini.  Darisinilah, aku banyak belajar!

***

Kunjungi tulisan terakhir saya di bukti watu meja, tumiyang kebasen

And Than,  See You Next Trip.  Yang mau dolan bareng, ane siap nih menemani.Maklum pengangguran di siang hari. Jangan lupa sms atawa telpon ya, paswordnya dengan wa tatang  di 085647732345

CURUG PENGANTEN

CURUG PENGANTEN

Komentar