Namaku Muhammad Fatih Ar Rayyan |
Tapi, terimakasih kepada mas Faisal Saelani yang kemarin-kemarin melecutkan semangat untuk menulis lagi. hehe.. Meski bukan tulisan jalan-jalan dulu ya mas..
Sejak awal, saya hanya punya satu ide; menulis apa yang saya jalani selama Februari sampai dengan Maret 2016. Tak ada yang lain.
Kalau soal jalan-jalan, sebenarnya masih banyak yang belum saya tulis. Ada perjalanan ke Pantai Karang Agung, lalu bermain Tubing di Desa Baseh. Ekh, ternyata hanya dua ya. Lagi-lagi, itu karena selama Februari sampai awal Maret, saya menjadi suami siaga.
Sungguh suami siaga itu selain lelah fisik (bojone kudu ngalem ini.. wkwk). Juga lelah pikiran. Sebab, benar adanya bahwa orang melahirkan itu adalah bertaruh nyawa. Selain doa yang selalu kupanjatkan, maka segala yang terbaik harus kuberikan kepada istriku.
Ingat! Masa kandungan itu tak bisa diulang. Apapun hasilnya (keluarnya sang anak), itu adalah produk selama kandungan berlangsung. Tak bisa diulang! hehe
Tapi, sungguh menegangkan menemani istri lahiran. Dibanding menunggui kelahiran anak mbarep saya, yang kedua ini yang butuh perjuangan ekstra keras.
Sudah, sudah kepanjangan.
Ekh, tapi ada satu cerita menarik. Pada Jumat 4 Maret 2016, dini hari pukul 03.00, istri saya mengalami kontraksi hebat. Waktu itu, sekitar pembukaan 3. Padahal, kontraksi itu berlangsung sejak enam jam sebelumnya. Alhasil, pada pukul 03.00 dini hari, istri saya sudah tidak kuar. Keluarga (saya, adik ipar, pak lik, dan bu lik) memutuskan diri untuk lahiran cesar saja.
Bidan di RS pun dipanggil untuk mengatakan keputusan itu di kamar RS. Tak selang lama, bidan itu pun lalu menjelaskan. Bahwa dokter yang menangani sangat yakin bahwa bisa lahiran normal. Persoalan kontraksi yang hebat, itu memang hal yang diinginkan. Sebab, dengan kontraksi hebat, maka sang adek di dalam kandungan sedang mencari jalan lahir.
Tapi, kalau kemudian memilih cesar, maka itu juga bisa dilakukan. Hanya saja, biaya cesar tak bisa ditanggung BPJS. Harus dibayar pasien sendiri.
"Berapa," tanyaku dengan yakin karena berapapun biaya, pasti harus disediakan.
"tiga belas juta lima ratus rupiah," jawab bidan itu dengan enteng.
"baiklah," kataku membatin dan yakin.
Secara reflek, begitu aku mendengar nominal itu, aku melihat istriku. Kulihat, istriku yang mendengar juga terkaget-kaget. Seketika itu, dia pun langsung berbisik.
"Ayah, aku masih sanggup. Sudah jangan cesar,"
"Sudah, ngga papa," kataku
"nggak, aku masih sanggup," tegas istriku.
Well, sejak ngomong sanggup, tekad istriku menyala lagi. Aku pun menemani hingga anak kedua kami yang kemudian diberi nama Muhammad Fatih Ar Rayyan terlahir pada pukul 06.15 pagi.
Setelah pulang ke rumah, kami berdua pun saling bercerita. Dan ujung-ujungnya, kami tertawa bersama karena kata sanggup itu justru terlecut karena mendengar biaya Rp 13,5 juta. Hahaha.. wakaka..
Tentu saja, pilihan lahir normal ini memang karena dokter mengatakan bisa lahir normal. Beda halnya saat dokter sudah memvonis untuk cesar, maka itu menjadi pilihan yang tak bisa ditolak.
Sun sayang untuk kami berempat. Aku, istriku, Raisa, dan Fatih.
Muhammad Fatih Ar Rayan bersama Aqilla Firsta Raisa Pamuji |
Uti menjenguk Dedek Fatih |
Fatih dan Raisa |
Pemilik blog ini |
bersama ibunya |
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Namaku Muhammad Fatih Ar Rayyan
Well, akhirnya pada Jumat, 4 Maret 2016, tepatnya pukul 06.15, anak kedua kami terlahir. Sungguh plong menyaksikan kehadiran buah hati. Ajaib pula. Tuhan yang maha kasih dan penuh misteri selalu membimbing kami dengan segala proses kelahirannya yang memakan waktu sampai tiga hari di Rumah Sakit (masuk ke RS Rabu, 2 Maret 2016 dan baru lahir selang dua hari kemudian).
Kalau pada kelahiran anak pertama kami, Aqiila Firsta Raisa Pamuji (Raisa), prosesnya cepat. Hanya sehari.
Sudah, sudah. Jangan dibandingkan. Beda anak, beda pula kelahirannya. Iya, kan?
Yang jelas, tak ada ungkapan lain selain bahagia saat anak kedua lahir. Pada saat itu, sebagai orang tua, kami siap mengemban amanah, mendidik untuk menjadi anak yang mampu menjalankan perintah Allah SWT, dan menjauhi laranganNya. Menjadi anak yang bisa mendoakan orang tua. Bahagia dunia dan akherat. Selebihnya, biarlah Tuhan yang menentukan takdirnya. Kami akan berusaha sebaik mungkin menjaga amanah ini.
Kok malah curhat. wkwk.
Oke. Kami hanya akan mengenalkan nama anak yang terlahir Jumat Pon ini. Namanya ; Muhammad Fatih Ar Rayyan. Islami. Iya. Tidak nasional, akh nasional juga kok. Nanti diakte ditambahkan Pamuji. Hehe. Kalau di tulisan ini, yang dibahas nama Muhammad Fatih Ar Rayyan saja!
Nama ini baru dirangkai setelah lima hari terlahir. Hanya satu kata yang memang sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Yaitu; Ar Rayyan (cek deh ditulisan yang lainnya). Sementara, soal Fatih adalah keinginan istri saya dari pengalaman bersama mbarep saya, Raisa.
"Yah, namanya Fatih ya," kata Raisa.
"Lho kenapa?," tanyaku.
"Iya, Fatih aja ya," tambah Raisa.
Ya sudah. Bagus kok. Penuh makna pula. Selidik punya selidik. Rupanya, Raisa sering mendengar cerita dari umi dan abi (maksudnya dari Mbah Lina dan Abi Yatman). Jadi, aku minta izin mengambil nama itu ya. Soal arti banyak. Penakluk, pemimpin, pembuka.
Selain itu, masih teringat cerita Istriku, Anggit Fitriani, saat masuk RS dalam kondisi baru pembukaan awal, Raisa bilang agar selalu baca al fatih (maksudnya surat Al Fatihah). Istriku yang saat itu masih kalut karena belum pembukaan pun menjadi terharu.
Lalu, kalau dua kata nama dirangkai maka menjadi Fatih Ar Rayan. Itu bisa dimaknai sebagai pembuka pintu surga bagi orang yang berpuasa. Terus kalau kata Muhammad itu merujuk pada Nabi terakhir, dan pemimpin ummat di dunia. Semoga, Fatih Ar Arrayyan pun meneladani segala hal yang melekat pada Muhammad SAW.
Wah berat juga namanya ya! Akh tidak juga. Kalau dari awal dimaknai berat oleh kami sebagai orang tua, tentu menjadi berat. Tapi, tidak bagi kami. Optimis. Harus diawali dengan mendidik yang baik sedini mungkin. Toh, semua orang tua juga akan memberikan yang terbaik. Tak ada orang tua yang tak memberikan yang terbaik untuk anaknya. Kami percaya, itu akan menjadi harapan yang indah pada masanya.
Terakhir, ungkapan terima kasih selalu kami ucapakan kepada orang tua kami. Bapak dan ibu di Kalibagor. Bapak di di Kedungwuluh. Eyang. Pak lik dan bu lik. Adik-adik tercinta. Keponakan. Hingga seluruh keluarga yang telah membimbing kami. kawan, sahabat, teman. Sekian. Semoga bermanfaat.
Komentar